blank
Ilustrasi. Reka: SB.ID

blank

OLAH batin untuk membersihkan hati, menurut para ahli hikmah, cara yang praktis dengan masuk kelompok tarekat, karena metodenya melalui ada mata rantai yang berkesinambungan dari guru, sahabat hingga Nabi SAW.

Tentang cara mengendalikan nafsu rendah dan mengaktifkan nafsu yang diridhai, itu tidak lepas dari bahasan bagaimana membuat hal itu  menjadi baik terlebih dahulu,  karena baik buruknya kita ditentukan  segumpal daging yang disebut hati.

Jika hati itu baik, maka baik pula manusianya. Sebaliknya, jika hati itu buruk, maka buruk pula manusianya. Maka, saat bertarekat, atau berjalan (mendekat) kepada Allah, tujuan utama  dalah mencari ridha-Nya. Jika ada tujuan lain, misalnya mencari ketenangan hati, atau keramat (kemuliaan), yang seperti itu tidak perlu dipikirkan.

Karena itu menyimpang dari tujuan ibadah, bahkan bisa jadi menyebabkan tercemarnya keikhlasan hati, sehingga tarekat identik dengan tirakat yang orientasinya ke duniawi.

Seseorang yang sudah dekat dengan Allah, minimalnya dia diberi kedamaian hati, atau diberi “keistimewaan” yang tidak dimiliki orang awam. Maka, andai kita kagum adanya keajaiban itu, arahnya ditujukan kagum kepada-Nya.

Saya punya teman diskusi yang rajin membaca buku tasawuf. Awalnya dia tanpa bimbingan guru, hingga batinnya  belum puas. Padahal, tidak jauh dari kediamannya ada perkumpulan tarekat. Namun karena metodenya dengan uzlah (menyendiri) 10 hari, karena dia pegawai negeri, lalu diurungkan.

Dalam kegalauan, dia sowan ke Pasuruan. Namun karena guru yang dituju sudah wafat, dia lalu berziarah. Dia berwasilah agar Allah menunjukkan guru yang sesuai hati nuraninya. Karena dia ingin dipertemukan dengan guru tarekat yang amalannya mampu diamalkan sebagai pegawai negeri yang terikat dinas.

Doa dia pun terkabul. Ketika salat di masjid, dia bertemu seseorang yang akan mendatangi pengajian di kediaman ulama kharismatik. Saat diatas motor, sambil dialog dia menunjukkan tarekat yang amalannya ringan dan tidak mengharuskan uzlah (menyepi) bagi jamaah barunya.

Dalam perjalanan menemui guru, dia teringat adegan film mandarin, yaitu calon pendekar yang diuji dengan dibiarkan  guru hingga berhari-hari tidak dihiraukan. Jika dia mengalami yang seperti itu, dia pun siap.

Yang terjadi memang seperti itu. Guru sedang bepergian, dan ketika datang sudah ditunggu kegiatan rutinnya sehingga dia menanti beberapa hari, baru guru menerima sebagai murid.

Setelah aktif tarekat, dia sadar, kebanyakan dari kita itu sering menyia-nyiakan waktu untuk sesuatu yang kurang bermanfaat. Melalui tarekat, bisa berlatih mendisiplinkan zikir. Dan manfaat dari zikir, selain nilai ibadahnya, hati lebih tentram karena terkendalinya nafsu.

Tujuh Titik Sentral

Dalam tarekat ada tujuh titik sentral nafsu yang disebut lathaif. Pengenalan letak nafsu itu memberikan keyakinan, dengan zikir yang diarahkan pada titik nafsu itu, maka nafsu yang buruk  di”hantam” dengan zikir agar semakin lemah.

Sebaliknya, nafsu yang baik, disuplai kalimat zikir, agar lebih berkembang. Karena saya penulis, ketika diskusi dengannya yang saya tanyakan, mungkinkan kita belajar tasawuf hanya dari buku? Dia menilai, peran buku untuk menambah wawasan.

Menurutnya, boleh saja zikir dari petunjuk buku, namun itu diposisikan sebagai latihan, sambil menunggu bertemu guru pembimbing. Karena menurutnya, bertarekat tanpa guru itu riskan. Itu karena yang berkaitan  ilmu rasa (hati).

Belajar ilmu wajib dengan yang menguasai keilmunnya. Ibarat orang awam  belajar elektonik melalui buku, hasilnya tentu beda  dengan yang belajar langsung dengan ahli elektro yang setiap saat dia bergelut dengan masalah itu.

Namun dalam kondisi yang darurat, ada yang belajar tarekat dari buku, namun itu diposisikan sebagai langkah awal jika suatu saat mendapat guru. Karena bertarekat itu harus disertai syareat, maka dia perlu  pembimbing.

Orang bertarekat mengikuti selera hati dikhawatirkan memahaminya kurang benar, dikhawatirkan cenderung pada hakikat saja. Dan Nabi SAW pun tidak mengajaran seperti itu, kareka perkumpulan tarekat itu beda dengan beladiri, yang sudah  pendekar boleh mendirikan aliran baru. Orang bertarekat justru melepas ambisi pribadi. Dia masuk jamaah, niat utamanya belajar mendisiplinkan diri dalam ibadah dan menjaga hati.

Tahapan

Dalam tarekat tentu ada tahapan. Namun guru dengan mata batinnya dapat menilai calon murid. Maka, ada murid yang baru datang, oleh guru langsung diwisuda. Ini menunjukkan, ukuran tingkatan bukan dari lamanya, melainkan bagaimana hatinya. Untuk mengetahui hati, hanya dapat dilihat guru yang sudah diberi karomah.

Tarekat ada tiga tahapan. Tahap awal mubtadi. Tahap menengah, mutawasith dan ketiga muntahi. Orang awam justru wajib bertarekat pada tingkat awal. Orang yang mengaku dirinya kotor dan ada upaya membersihkan melalui tarekat, itu lebih mulia.

Bahkan ada yang mengibaratkan, orang awam yang seperti itu, adalah  orang yang dipilih Allah akan dijadikan kekasih-Nya, hingga  mendapat nurullah atau cahaya Allah. (Bersambung)