Oleh Vederico Magas
BERSELANCAR di internet, menjadi hal yang “kudu” di era sekarang. Seakan kebutuhan akan media sosial sekarang menjadi salah satu “primeritas” dalam sosial. Kalau diibaratkan dalam piramida Maslow, mungkin berada di posisi tertinggi terfusi dengan fisiologis. Berbagai fungsi di jalankan dalam kebutuhan baru manusia ini.
Informasi, kunci dalam kebutuhan manusia akan konteks di atas. Tuntutan terpenuhinya asupan kepo seakan menjadi jawaban atas kebutuhan dasar baru manusia ini, layaknya gosip ibu-ibu di area gang RT/RW, berasa kurang kalau tidak ada. Sama seperti geng ibu-ibu, begitu juga fenomena yang terjadi dengan media informasi sekarang.
Scroll Instagram, pasti ada saja media yang memberitakan atau menginformasikan suatu kejadian dengan begitu cepat nya; Tak kalah dari media massa resmi, bahkan lebih cepat. Tentu dengan cepat nya persebaran itu, pengguna media massa yang didominasi oleh Gen-Z akan dengan senang hati menerima informasi tersebut. Aktual seakan menjadi slogan utama media-media tersebut.
Menjamur dan seakan dibiarkan tumbuh dengan baik di leluasan tempat. Bukan berarti konotasi ini negatif, karena saya rasa pun fenomena ini berada di tengah nya. Dengan adanya aktualitas media Gen-Z ini, seakan memberi angin segar untuk anak muda yang sekarang sudah malas membaca berita online di media resmi lainnya. Ketertarikan ini menumbuhkan kembali semangat membaca orang-orang.
Namun dengan aktualitas tersebut, tentu perlu pertanggung jawaban akan berita/informasi yang disajikan oleh setiap media. Ya, faktualitas berjalan beriringan dengan adanya aktualitas. Dengan pertanggungjawaban itu, maka akan dikatakan bahwa sebuah informasi dikatakan layak untuk dipublikasikan kepada khalayak. Lantas, bagaimana dengan media Gen-Z ini?
Tentu, tak asing dengan media background putih, dengan gambar pemandangan dan dipoles dengan headline yang bombastis. Ditambah bumbu berbahasa inggris dan pemberi umami pada kata “riset oleh peneliti”, membuat penyamaran informasi ini menjadi seakan faktual. Seperti sebagian besar media ini berada di satu komando, rata-rata media gen-z ini menggunakan formula seperti ini.
Sekilas terlihat informasi yang dipublikasi ini seperti benar adanya, namun ketika melihat pertanggung jawaban faktualitas informasi nya, tidak ada sumber yang tertera jelas disana. Tipikal klasik masyarakat yang tidak mau cross-check sebuah informasi yang diberikan media, begitulah gambaran hubungan media gen-z ini dan pembaca nya.
Sebenarnya, masih ada banyak kasus serupa yang terjadi dan dilakukan oleh media-media ini. Bukan bermaksud menjadi elitis dalam “permediaan”, tapi saya rasa pun setiap dari kita harus berpikir sedikit lebih kritis saja. Pertanggung jawaban ke-sahih-an sebuah informasi/berita yang diedarkan harus menjadi pertimbangan utama kepada media-media ini.
Saya pun mengerti betapa ribetnya membuat suatu media yang resmi menjadi sebuah PT atau badan resmi yang dinaungi hukum, tetapi setidaknya dengan memahami makna faktualitas dan diterapkan ke dalam berita/informasi yang anda sajikan, dapat membantu anda menjadi salah satu media yang berpengaruh kepada khalayak. Pengakuan terhadap kredibilitas anda juga akan begitu signifikan dalam konteksnya.
Vederico Magas, mahasiswa Fakultas Imlu Sosial dan Ilmu Komunikasi UKSW