Menurutnya, larangan penggunaan knalpot brong saat kampanye dapat ditinjau dari dua aspek yakni aspek hukum dan aspek sosiologis.
“Knalpot brong saat digunakan untuk kampanye ditakutkan akan menimbulkan dampak lain, sehingga kami minta massa (kampanye) tidak menggunakan knalpot brong,” paparnya.
Sementara dari aspek hukum, telah diatur dalam Pasal 48 tentang kebisingan, pasal 64 tentang kelayakan kendaraan, pasal 210 terkait standar kelayakan kendaraan dan pasal 285 tentang sanksi pidananya berupa kurungan penjara selama satu bulan.
Adapula aturan dari lembaga lainnya seperti aturan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.56 Tahun 2019 tentang baku Mutu Kebisingan Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor yang Sedang Diproduksi Kategori M, Kategori N, dan Kategori L.
“Dalam aturan tersebut diatur misalnya desibel kendaraan 80 cc itu 70 desibel, 120 cc dan 140cc itu 80 desibel. Kami punya alat untuk mengukurnya. Nah knalpot brong melebihi dari desibel yang ditentukan,” terangnya.
Selain itu, larangan knalpot brong dilihat juga dari pendekatan sosiologis yang mana knalpot brong mengganggu ketertiban dan kenyamanan masyarakat pengguna jalan.
“Knalpot brong dapat menimbulkan polusi dan memancing konflik sosial. Kasus itu sudah terjadi di Magelang dan Pati, ada bentrokan kelompok akibat knalpot brong. Jadi aspek hukumnya ada, aspek sosiologisnya juga ada. Dan ini yang harus kita sosialisasikan bersama kepada masyarakat, kenapa kok knalpot brong itu dilarang penggunaannya,” katanya.