blank
Ilustrasi. Reka: wied

Oleh Marjonoblank

EKSEKUSI pemilu 2024, tinggal menghitung harri. Ada kemungkinan setiap pasang kontestan merasa diri paling hebat dan saling mengeklaim menang satu putaran. Selesai. Satu pertunjukan pastilah wajar: terdapat suka-sedih, cemas maupun tanpa beban atau legawa dengan hasil hitungan akhir KPU (komisi pemilihan umum). Mereka pun sudah seharusnya siap dengan pemilu yang ramai rasanya: manis, asin bahkan asam. Itu baru pilpres belum lagi hingga pileg (pemilihan legslatif).

Tak usah khawatir, takut heran pula, di berbagai kota sudah berdiri rumah-rumah konseling, bersama orang-orang yang flamboyan dan muncul lembaga-lembaga yang sok mem-branding mampu menenangkan dan memenangkan belitan atas kasus-kasus yang dihadapi. Tapi mereka bukan kaukus pengacara dengan segepok kajian teori dan keilmuan tentang per-hukum-an, tapi lebih pada empati, solider dan ngemong juga menyangkut tak tega atau sampai hati.

Kalau dalam bahasa jawa ada istilah, tego larane ora tega patine (Tega sakitnya tapi tak sampai hati jikalau ia meninggal). Bahkan beberapa RSJ (rumah sakit jiwa) berikut dokter di bidangnya siap menampung gangguan psikologis para caleg yang gagal melanggang ke Senayan.

Di sinilah, kita penting menaburkan bunga lili di tenda-tenda, posko-posko, kanal-kanal dan arus yang berseliweran kala ada pihak yang tak puas, mempertanyakan dan meragukan hasil pemilu. Dalam frasa demikian, kita perlu singah menyambangi sosok Semar, seperti dalam pewayangan yang selalu diidentikkan dengan jiwa pamomongnya bersama keluarga Pandawa. Keluarga ini yang ditahbiskan sebagai perilaku baik manusia.

Barangkali, tak cukup bijak jika mengabaikan tokoh Togog yang kesohor sebagai pengasuh dalam suka duka para Kurawa. Pihak yang acap disebut sebagai pihak paling buruk tabiatnya dalam kehidupan apapun. Peran Semar banyak memberi nasihat, petuah dan saran soal kebaikan dan kebajikan serta selalu dipatuhi para anak asuhnya.

Sebaliknya, peran Togog sama-sama menyampaikan kesalehan, tapi sangat sulit diterima apalagi sampai tahapan praktik atau implementasinya bagi para muridnya. Meskipun anak asuhannya bengal dan menolak bahkan menjagal nasihat-nasihatnya yang berkonten nilai baik, tapi jangan sebut Togog jika hanya tersandung kerikil kecil saja sudah menggerutu dan mengumpat apalagi putus asa.

Semar dan Togog tak pernah lelah dan selalu menyorongkan ruh dan spirit kebaikan, diminta atau tidak diminta bahkan bibir atau mulutnya sampai berbusa-busa, membesar atau ndower  hanya demi dan untuk satu soal kebajikan agar para kesatrianya pun tetep rukun tanpa reserve.

Saripati yang kita dapat dari kerja keras konseling Semar dan Togog mungkin bisa disebut lebih memilih freedom for (kebebasan untuk) bukan freedom of (kebebasan dari). Freedom for, lebih dimaknai sebagai upaya sesungguhnya, misalnya bebas dari kemiskinan, sedangkan freedom of, tatarannya jauh di bawahnya, contohnya, bebas dari rasa lapar, bebas dari haus, bebas dari takut, dll.

Dalam konteks pemilu, tentu relasinya terbangunnya praktik fairplay, sementara yang lain mungkin saja baru sebatas pada level bebas dari politik uang, misalnya. Di sini masyarakat tak perlu cemas, gundah apalagi sampai gusar. Di negeri ini ada MK, KPU, Bawaslu, dan jalur hukum lainnya. Inilah yang akan menyelesaikan segenap problema terkait hasil pemilu.

Lembaga-lembaga dan jalur terkait inilah yang bakal menjamin penyelesaian sengketa pemilu dan kita berikan kesempatan sekaligus kepercayaan memainkan peran tugas pokok fungsinya dengan sepenuh adil, seadil-adilnya, bukan melemahkan tapi menguatkan.

Kondisi demikian, bukan berarti masyarakat tak boleh menyampaikan pendapat dan atau laporan ke negara. Justru di sini seluruh warga negara punya kebebasan menyampaikan laporan, aduan, pengawasan atas (mungkin) atas dugaan penyimpangan, penyelewengan maupun kecurangan.

Tentu harus disertai cukup bukti yang relevan, dll secara santun dan sesuai mekanisme. Jangan sampai ketenangan, kenyamanan dan ketentraman warga terusik hanya “geger,” atau “tak percaya,” soal hasil pemilu.

Masyarakat seluruhnya memiliki hak sebagai watchdog, sebagai pengawas organik atas kerelaan dan sepenuh kesadaran sebagai warga negara dalam mengawasi prosesi pemilu dan menyelamatkan bahkan mengamankan hasilnya sambil menunggu pengumuman resmi dari KPU sebagai hakim terakhir.

Keterbelahan

Begitu pula, media sebagai sarana penyebar informasi juga wajib menyajikan informasi secara  netral, berimbang, dan tanpa tendensi. Informasi yang disampaikan kepada publik harus berkontribusi dalam meningkatkan pemahaman dan kesadaran politik masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam menjaga hasil-hasil pemilu.

Sebagai pilar demokrasi yang membidani lahirnya reformasi, maka sejatinya peran media bukan sebatas memberitakan proses dan proses atau step pemilu, namun sekaligus memiliki tanggungjawab untuk memberikan pencerahan demokrasi kepada masyarakat. Media massa juga bertanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat agar memiliki pemahaman yang tepat terhadap informasi tentang Pemilu maupun hasilnya. Tanggungjawab tersebut menjadi ”garis merah” antara idealisme redaksi dan korporasi untuk bersama-sama menempatkan kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara di atas segalanya.

Penulis meyakini seiring usia bangsa kita semakin dewasa, telah membawa semangat kearifan, kematangan, dan kerendahan hati para punggawa media dalam mengukuhkan diri sebagai pilar pembangunan.

Ekspektasinya, media dapat menerapkan komunikasi yang interaktif namun solutif, sehingga marwah media dalam kehidupan bangsa akan tetap terjaga, khususnya dalam pemilu. Sehingga media juga turut menumbuhkembangkan jiwa nasionalisme dan menyemaikan semangat ke-Indonesia-an.

Sekeras apa pun pertarungan politik untuk merebut kekuasaan dengan segala hasil angka statistikanya, kepentingan bangsa dan negara harus tetap di atas semuanya. Persatuan nasional adalah kepentingan bersama yang harus dijaga dan dikawal bersama.

Mari, kita semakin dewasa dalam berpolitik dan jadikan hasil Pemilu 2024 sebagai pintu gerbang kejayaan pembangunan, khsusunya konstruksi demokrasi di Indonesia di tahun-tahun mendatang. Ada tugas yang menantang bangsa ini ke depan, yakni jangan sampai tejadi keterbelahan persatuan bangsa hanya gegara pilihan politik.

Inilah peran profetik yang telah, sedang dan akan terus dipraktikkan secara apik ala Semar dan Togog. Barangkali kedua sosok agung itu ada diantara kita.

Marjono, Kepala UPPD/Samsat Kabupaten Tegal Jawa Tengah