blank
Ilustrasi. Guru di desa sedang mengajar dan seragam PGRI. Foto: Reka wied

Oleh Marjonoblank

SEBENTAR lagi, malam nanti pukul 00.00 WIB kita sudah memasuki waktu Hari Guru Ke-78, bertema, “Bergerak Bersama Rayakan Merdeka Belajar.” Nyaris aktivitas kita tak bisa dilepaskan dari peran guru.

Di rumah kita punya orangtua sekaligus guru, di tempat ibadah kita punya guru para kiai, dan ustad, di tempat kerja kita memiliki guru para kepala dan kawan senior-junior, di masyarakat kita juga punya guru para tokoh masyarakat, bangsa kita pun punya guru bangsa para founding fathers, dan guru-guru pada aras yang lain yang tercatat maupun hidden.

Puluhan tahun para guru beroleh predikat, “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.” Padahal, sejatinya guru tak terlalu membutuhkan lontaran itu. Mereka lebih membutuhkan implementasi kebijakan yang berpihak pada mereka, sehingga profesi guru mendapatkan kedudukan terhormat dan penting di masyarakat. Guru cukup tahu diri, dan tidak pernah pernah bertepuk dada, apalagi merasa paling berjasa. Karena republik ini besar dan maju beralas gotong royong.

Proses bisnis guru tidak hanya memberi ilmu (transfer of knowledge), tetapi juga harus mampu mentransformasi ilmu (mengembangkan) kepada peserta didik. Sesuai dengan tanggung jawabnya, guru harus ‘mendidik,’ yang berarti mampu berusaha secara sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran.

Profesi Impian

Problema pendidikan bukan hanya mengenai kekurangan guru, tidak proporsionalnya penyebaran guru, kualitas guru yang tidak merata, status profesi guru tak sedikit yang ngambang maupun kesejahteraan dan penghargaan guru yang secara umum masih jauh dibandingkan profesi lain menyebabkan profesi satu ini kurang diminati anak-anak muda berkualitas dan profesional.

Menengok laporan Education Efficiency Index, Indonesia termasuk negara yang kurang mengapresiasi guru. Dari 30 negara yang masuk survei tersebut, gaji guru di Swiss merupakan yang paling tinggi dengan nilai Rp 950 juta per tahun. Kemudian diikuti Belanda, Jerman, dan Belgia. Lantas bagaimana dengan kesejahteraan guru kita?

Negara kita secara bertahap akan menyetarakan kesejahteraan para guru ini secara optimal. Para guru di sekolah pun dengan penuh kelembutan tetap berucap syukur dengan take home pay setiap bulannya.

Rupanya masih relevan hingga kini, manakala kesejahteraan itu belum juga teratasi, nampaknya alunan lagu Oemar Bakri dari Iwan Fals puluhan tahun silam bakal menggenang menjadi kritik ”abadi” untuk menggambarkan nasib kesejahteraan guru. Kesejahteraan beririsan dengan kualitas pendidikan. Point itu menjadi PR yang panjang, meskipun kita menerima para guru apa adanya, tapi jangan pernah membiarkan masa depan guru seadanya.

Tapi kemudian, The Balance Careers menyorongkan fakta bahwa guru menjadi salah satu dari 15 pekerjaan impian yang diinginkan anak-anak, setelah penari, aktor, dan musisi. Meski mengajar adalah pekerjaan yang sulit, tetapi guru adalah pekerjaan yang membuat seseorang dapat memberikan pengaruh paling besar dalam kehidupan orang lain.

Barangkali ada benarnya atas ungkapan, “Cara sebuah bangsa memperlakukan gurunya adalah cermin cara bangsa memperlakukan masa depannya!” bahkan kita masih merekam hangat, ilustrasi pertanyaan kaisar Jepang sesudah bom atom dijatuhkan di Negeri Sakura, ’’Berapa jumlah guru yang masih hidup?”

Hal ini membuktikan bahwa dalam pendidikan, peran guru sangat signifikan. Guru adalah aktor pendidikan. Dengan guru yang baik, pendidikan bermutu akan tercapai. Guru dalam dunia pendidikan seharusnya tidak hanya dijadikan salah satu instrumen semata, tapi harus ditempatkan dalam posisi yang sangat strategis.

Sebab, guru adalah profesi yang sangat penting dalam mencerdaskan SDM yang mengantarkan anak-anak kita menggenggam mimpi, selaksa sosok Arai dalam Laskar Pelangi.

Absennya teknologi, pendidikan masih dapat berjalan. Namun, nihilnya guru, jagat pendidikan akan lunglai dan bisa saja jalan di tempat. Dengan guru yang cakap literasi dan menguasai teknologi, pendidikan akan berlari lebih kencang dan melesat lebih tinggi mengantarkan anak bangsa terbang meraih cita-cita mereka.

Maka kemudian, guru perlu menemukenali beberapa ciri era digital yang memengaruhi pendidikan, ketika siswa menjadi cepat bosan dan hidup tergantung kepada handphone/smartphone, segala sesuatu ingin cepat mendapat hasilnya dan serba instan. Penting kemudian, guru mendenyutkan inspirasi, menjadi role model  (teladan), mengarahkan, berdialog dengan siswa, memberi pedoman, dan dapat bekerja sama dengan siswa dan memberikan bimbingan. Termasuk netralitas dan tidak berpolitik praktis dalam pemilu 2024.

Maka, siswa dapat memiliki prinsip yang baik dan benar menurut agama, falsafah Pancasila, dan kaidah di daerah masing-masing sehingga siswa dapat bersikap dewasa (meskipun masih duduk di sekolah dasar).  Kita tak pernah menghitung kebaikan guru, tapi peran dan kontribusi guru selalu diperhitungkan dalam pembangunan negeri ini.

Tatakelola Guru

Di tengah terjalnya disrupsi, guru harus mampu menghindarkan diri dari sikap otoriter, merasa paling tahu, dan menganggap dirinya selalu benar. Proses belajar mengajar yang kurang matching dengan realitas “dunia luar”. Itulah satu persoalan masa kini, di era digital. Profesi guru kerap terjebak pada rutinitas dan kurang termotivasi. Kreativitas pun terbelenggu.

Dalam buku Achieving Competence, Success and Excellence in Teaching yang ditulis Mark Brundrett dan Peter Silcock (2002) disebutkan “profesionalisme guru dipengaruhi oleh regulasi, ruang kelas, komunitas sekolah, dan proses pembelajaran di fakultas keguruan”.

Itu berarti, guru yang profesional harus didukung kompetensi yang memadai, baik secara pedagogik, akademik, kepribadian, dan sosial.

Terpenting, guru selalu punya kesadaran belajar berkelanjutan untuk meningkatkan kompetensi, khususnya kompetensi pedagodik dan inovasi pembelajaran berbasis digital. Bukan guru yang aktif di media sosial tanpa mau berbenah diri. Agar tidak gagal mengelola kelas.

Maka kemudian, guru dan praktisi pendidikan di mana pun harus berani mengubah mind set. Bahwa guru adalah kreator di dalam kelas. Tanpa perlu mengajar secara text book terhadap kurikulum. Guru adalah fasilitator siswa dalam menemukan potensi dirinya. Maka guru tidak boleh nyaman dengan cara belajar yang satu arah.

Figur guru itu bak jembatan yang bisa menghubungkan seseorang dengan cita-citanya kelak. Di papan tulis, gadget dan laptopnya terdapat lukisan harapan anak bangsa. Di ruang kelasnya ada wajah masa depan Indonesia. Gurulah kelompok paling awal yang tahu potret masa depan bangsa.

Masih ada waktu menuju 2024, tumpuan besar para guru tentu, bakal terpilih pemimpin yang memprioritaskan pendidikan berkualitas untuk semua dengan fokus utama pada manajemen pendidikan yang komprehensif, termasuk pengelolaan guru dari hulu hingga hilir, termasuk guru honorer kita yang belum atau telah lulus seleksi P3K, bahkan guru keagamaan (guru ngaji, guru sekolah minggu, dll). Tanpa tata kelola guru yang baik, pendidikan bermutu hanya menjadi angan belaka.

Para guru, bercahayalah! Takzim kepada bapak-ibu guru, terima kasih untuk semua didikan khidmatmu. Penulis bisa ada seperti sekarang ini salah satunya berkat jasa para guru di masa lalu. Maafkan semua kenakalan dan keliaran kami selama menjadi muridmu. Selamat ber-Hari Guru.

Marjono, Suami Seorang Guru, Kepala UPPD Kabupaten Tegal, Jawa Tengah