Seorang petani sereh wangi dan kayu putih di Desa Kebosungu, Bantul, DI Yogyakarta sedang menggarap lahan yang berbatasan langsung dengan Kawasan Hutan milik Perum Perhutani. (Diaz Azminatul Abidin/Suarabaru.id)

Oleh Diaz Azminatul Abidin

KONFLIK lahan menjadi salah satu permasalahan paling serius dan disorot di Indonesia, karena sangat rawan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Butuh ruwatan khusus untuk mewujudkan keadilan sesuai cita-cita perundang-undangan.

Acap kali konflik lahan itu memakan korban, pertentangan antara masyarakat, korporasi dan aparat penegak hukum. Kasus terbaru seorang warga dilaporkan tewas di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan Kalimantan Tengah, awal Oktoer 2023.

Seorang warga tewas diduga tertembus peluru tajam oleh aparat keamanan dan dua lainnya luka berat dalam aksi yang menuntut perusahaan kelapa sawit PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP).

Masyarakat meminta perusahaan menuntaskan janji untuk memberikan lahan plasma sawit kepada masyarakat. Sementara kasus tewasnya seorang warga tersebut masih abu-abu.

Wahana Lingkungan Hidup Indponesia (WALHI) pada Agustus 2022 dalam rilis penelitian berjudul “Indonesia Tanah Air Siapa?” mengungkap bila korporasi menguasai mayoritas tanah di Indonesia, dan banyak menimbulkan konflik langsung seperti dengan masyarakat adat.

Laporan Walhi bersama Auriga itu menggambarkan bila korporasi menguasai lahan sangat besar khususnya di tiga sektor penguasaan lahan dan sumber daya alam (Tambang, Sawit, dan Hutan).

“Melansir Katadata.co.id, Walhi menyebut dari 53 juta hektare penguasaan/pengusahaan lahan yang diberikan pemerintah, hanya 2,7 juta hektare yang diperuntukan bagi rakyat, tapi 94,8 persen bagi korporasi.

Di Kalimantan misalnya, Walhi dan Auriga mencatat lahan yang dikelola korporasi di Kalimantan mencapai 24,73 juta ha, sedangkan yang dikelola rakyat hanya 1,07 juta ha.

Terbitnya izin-izin lahan ternyata juga mewariskan masalah, di antaranya hak masyarakat adat di kawasan hutan yang kerap kali digusur oleh korporasi.

Akar Masalah

Koordinator Harian Stranas PK Niken Ariati menggambarkan, akar permasalahan yang membuat benang kusut konflik lahan di Indonesia sulit diurai. Dia bilang, bila Indonesia dianugerahi wilayah yang luas, namun lemah pada database baik kependudukan maupun geospasial.

Stranas PK ingin menyelesaikan permasalahan itu karena adanya ketidakpastian (penetapan) areal hutan, praktik korupsi dalam proses perizinan usaha, dan pembangunan tata ruang.

Pada praktiknya, penetapan izin areal kawasan hutan tumpang tindih dan tidak ada kepastian hukum antara pemda, Kemen LHK, Kementerian ATR/BPN dan lainnya, karena mereka menggunakan peta data yang dimiliki sendiri di masing-masing lembaganya.

“Misalnya setiap Kementerian/Lembaga menetapkan kebijakan (izin penetapan lahan) berdasarkan petanya masing-masing. Kementerian Kehutanan berdasarkan peta yang dia punya, Kementerian Pertanian memberikan izin perkebunan berdasarkan peta yang dipunya, Kementerian ATR/BPN bikin sertifikat berdasarkan peta yang dipunya,” ujar dia dalam Workshop Jurnalistik, belum lama ini.

Niken Ariani mencontohkan, zaman dahulu ketika kepala daerah diberi mandat untuk pemberian izin pengelolaan lahan, mereka asal memberi izin aja tanpa dilengkapi dengan data peta.

“Misal ada perusahaan bikin perusahaan sawit di sini-disini berbatasan dengan desa ini desa ini, tapi titik batasnya yang mana mereka tidak tahu. Kemudian petanya itu ternyata masuk ke kawasan hutan,” kata Niken.

Dia mengatakan, Stranas PK berjuang sesuai mandat Undang-Undang untuk menguraikan akar permasalahan tersebut.

“Jelas yang bermasalah di Indonesia ini penetapan kawasan hutannya belum selesai. Bahwa kemudian hutan kelihatan seperti hutan, tapi secara hukum belum ditetapkan sebagai kawasan hutan itu ada,” kata dia.

Sehingga ketika kementerian lain memberikan izin di situ, korporasi akan banyak berkilah.

“Perusahaan ngeles, ‘kan berdasarkan catatan kemen kehutanan bukan kawasan hutan, boleh lah saya buka lahan’. Nah memang penetapan kawasan hutannya terlambat sehingga terjadilah carut-marut kepentingan penggunaan kawasan hutan,” kata Niken.

Permasalahan makin tak karuan dengan banyaknya data memungkinkan tidak sinkron dalam pemetaan, sehingga akan ada perbedaan penetapan izin lahan hingga memicu konflik lahan.

“Padahal sedikit saja peta bergeser misalnya 1 mm saja kalau menggunakan peta 1:50.000 maka pengaruhnya pada berhektar-hektar lahan. Sehingga terjadi ketidakjelasan pemberian izin mengenai penggunaan ruang atau lahan. Imbasnya akan bermasalah atau ketidak-tahuan pemberi izin baik Kementerian atau Pemda, karena atau sumber (pemetaannya) tidak jelas,” ujar Niken.

Niken Ariati mencontohkan, dahulu ada Gubernur Riau yang harus berhadapan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena masalah tata ruang perizinan penggunaan lahan yang tak sesuai.

“Ini akan kita bereskan dengan kebijakan Satu Peta Satu Data. Mulai menyelaraskan semua peta yang ada di setiap lembaga/kementerian atau pemerintah daerah,” kata dia.

Satu Peta Satu Data

Stranas PK ingin menyelesaikan permasalahan tersebut dengan dimulai kebijakan Satu Peta Satu Data bersama Badan Informasi Geospasial (BIG). Kebijakan satu peta yang dibutuhkan yakni peta 1:5.000, sehingga semakin detail dengan resolusi yang bagus.

Dengan begitu akan berguna untuk integrasi penetapan lahan di suatu kawasan agar tak terjadi tumpang tindih antara instansi di Kementerian hingga Pemda.

Stranas PK juga akan jadi jembatan komunikasi yang melibatkan Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah di antaranya Kementerian ATR/BPN, Kemendagri, 31 Pemprov, dan 68 Kabupaten/Kota.

“Ini ingin selesaikan satu per satu, pertama perbaiki peta dasarnya mulai dari Badan Informasi Geospasial (BIG), kemudian minta Kementerian Kehutanan untuk segera menetapkan peta kawasan hutannya. Target stranas PK penetapan 26 juta ha Kawasan Hutan segera tercapai,” kata Niken.

Saat ini capaian penetapan Kawasan Hutan Ini sudah sampai angka 70-80 persen, dibandingkan pada 2011 baru 7 persen. “Target kita 100 persen di 2024. Kita akan masuk lagi kawasan penetapan hutan sudah terus berjalan,” kata dia.

Stranas PK kemudian mendorong penyelerasan dengan menggunakan referensi yang sama yaitu Satu Peta Satu Data yang lebih rinci sehingga akan kelihatan di mana batas-batas tanah dan kawasan hutan.

“Bagaimana caranya, menggunakan peta data dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Tapi untuk peta 1: 50.000 mereka belum punya. Sehinga belum cukup untuk sesuatu gambaran yang detail,” ujar Niken.

Pihaknya menjelaskan bila peta data dengan skala  1:5.000 amat sangat diandalkan. Sementara itu baru 2,5 persen wilayah d Indonesia yang punya peta data dengan skala 1:5.000 serta resolusi yang baik.

Padahal, lanjut Niken, peta data 1:5.000 amat sangat dibutuhkan pemerintah daerah dalam menyusun rencana detil tata ruang. Misalnya dalam membuat izin dan memetakan lokasi usaha di sebuah tempat

Dalam pembangunan bidang usaha di suatu tempat perlu renana detil tata ruang. Di lain sisi ada Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui Sistem Online Single Submission (OSS) di BKPM.

“Langsung klik dapat nama NIB, mau bikin salon di mana tinggal klik maps (peta digital), kita ingin sempurnanya begitu. Tapi tidak semua daerah punya rencana detil tata ruang yang kemudian diintegerasikan untuk dimasukkan ke OSS. Harusnya ambil peta 1:5.000 susun buat digital insert dalam OSS sehingga bisa diklik oleh pengusaha secara jelas,” ujar Niken Ariati.

Sehingga jangan sampai, calon pengusaha sudah dapat NIB, namun tidak tahu di mana tempatnya sesuai rencana dasar tata ruang (RDTR) atau tidak.

“Izinnya harus dilakukan juga offline dahulu misalnya, boleh tidak. Akhirnya NIB nya yang disebut di OSS akhirnya cuma nomor saja. Nah ini kenapa di Stranas PK akan menyusun RD TR terintegerasi dengan OSS di 65 kab/kota. Atau menyatukan 135 RD TR di 7 provinsi,” kata dia.

Rp 50 Triliun Denda Korporasi

Stranas PK juga punya pekerjaan besar akan  menyelesaikan tumpang tindih izin tambang seluas lebih dari 5 juta hektar di wilayah hutan. Begitu juga dengan izin lahan sawit seluas 2 juta hektar lebih diselesaikan dalam Kawasan Hutan di lima Provinsi di Indonesia yang segara diselesaikan.

Bahkan tidak menutup kemungkinan dengan adanya aturan Undang-Undang, akan ada denda terhadap para pelanggar di Kawasan Hutan.

“Denda itu mudah-mudahan bisa koordinasikan dan sampaikan kepada perusahaan tersebut dengan mekanisme UU Cipta Kerja,” jelasnya.

Tim Stranas PK saat talk show bersama Pimpinan KPK dan Koordinator Pelaksana Stranas PK yang menghadirkan bintang tamu selebriti Rafi Ahmad belum lama ini. (DOK: Stranas PK)

Pundi-pundi rupiah juga bisa masuk ke kantong negara sekitar Rp 50 triliun dari denda yang akan dikenakan. Stranas PK punya target awal Oktober 2023 dan penyelesaian pada November 2024.

Pilot Project

Stranas PK mulai menggarap tujuh provinsi di Indonesia sebagai piloting project untuk penerapan Satu Peta Satu Data. Mulai dari Papua, Sulawesi Barat, Kaltim, Riau, Kalteng, dan Jabar Bali dan Banten.

Ada lima dari tujuh provinsi tersebut yang difokuskan karena banyak ditemukan permasalahan perizinan terkait penggunaan lahan untuk perkebunan dan tambang.

Secara spesifik, berikut beberapa target lengkap Stranas PK ke depan;

  1. Stranas PK punya target penyelesaian lebih dari 26 juta hektar kawasan hutan yang ditetapkan
  2. Penyelesaian Tata Ruang sebanyak 31 RTRWP ditetapkan
  3. Integrasi RDTR dengan OSS di 7 provinsi: Integrasi RDTR dengan OSS di 65 Kab/Kota (135 RDTR) di 7 Provinsi
  4. Perbaikan tata kelola perizinan perkebunan kelapa sawit
  5. Penyelesaian tumpang tindih (sawit dan tambang dalam kawasan hutan): Tambang seluas 5,2 juta hektar, Kebun Kelapa Sawit seluas 2,3 juta hektar di kawasan hutan di 5 provinsi
  6. Pemanfaatan ruang dan lahan IKN clean and clear

 

Capaian dan Kendala;

  1. Penetapan RTRW-P di 7 provinsi dan RDTR di 1 Pemkab
  2. Penetapan kawasan hutan mencapai seluas 1 juta hektar
  3. Sudah ada usulan pola PITTI oleh KLHK
  4. Peta pengukuhan Kawasan Hutan belum menjangkau seluruh Indonesia (target selesai 2028)
  5. Kebutuhan anggaran peta dasar sebesar Rp 4 triliun dan Integrasi RDTR dan OSS sebesar Rp 3,5 triliun

Stranas PK bekerja sama akan bekerja sama dengan 10 Kementerian Lembaga di antaranya Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian Agraria dan Tata Ruang (Kemen ATR/BPN), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM.

Kemudian Kementerian Investasi dan Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Pertanian (Kementan), Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN)

15 Aksi Stranas PK

Seperti diketahui Stranas PK terdiri dari gabungan kerja beberapa Kementerian/Lembaga, mulai dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Kemendagri, serta Kemenpan RB.

Secara garis besar Stranas PK ialah arah kebijakan nasional yang memuat fokus dan sasaran pencegahan korupsi yang digunakan sebagai acuan kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan aksi pencegahan korupsi di Indonesia.

Sementara itu, Aksi Pencegahan Korupsi yang selanjutnya disebut Aksi PK adalah penjabaran fokus dan sasaran Stranas PK dalam bentuk program dan kegiatan.

Dengan kewenangannya itu, kini Stranas PK punya target tahunan misalnya menyelesaikan dengan 3 fokus utama dan 15 aksi.

Tiga fokus utama yakni, Perizinan Tata Niaga, Keuangan Negara, dan Penegakan Hukum dan Reformasi Birokrasi.

Sementara 15 aksi di antaranya, Satu Peta seperti dijelaskan di atas, Sinas NK, Beneficial Ownership, Pelabuhan, PB-UMKU, Perencanaan, PBJ, PNBP, Aset Pusat, NIK, Parpol, APIP, SPPTTI, BUMN-BUMD, dan Merit.

Diaz Azminatul Abidin, wartawan suarabaru.id di Semarang