JEPARA (SUARABARU.ID) -Bisa saja mimpi buruk Muntamah (31), warga Desa Karimunjawa ini juga menjadi kecemasan banyak warga desa yang selama ini menggantungkan hidupnya pada geliat sektor pariwisata. Tamah, demikian panggilan akrab ibu satu anak ini bukanlah pengusaha hotel atau pemilik home stay. Ia hanyalah seorang buruh warung ikan bakar yang akhir – akhir ini dilanda kecemasan jika daya tarik Karimunjawa menurun karena alamnya rusak.
Tamah bersama 5 temannya memang bekerja di warung ikan bakar milik “Bu Sate” yang sejak tiga tahun lalu membuka lapak lesehan di alun-alun Karimunjawa. Lulusan SMAN 1 Pulokulon, Grobogan ini bahkan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Tamah anak buahe Bu Sate.
Ia menetap di Karimunjawa karena mengikuti Abdul Mufit, suami yang juga warga asli Karimunjawa. Mereka menikah tahun 2015. “Kala itu suami saya bekerja sebagai Tour Guide dan kami memutuskan tinggal di Karimunjawa tahun 2019. Pertimbangan kami, kawasan ini sangat indah dan dapat menjadi sandaran hidup kami,” tuturnya.
Namun sejak pandemi, saat tak ada kunjungan wisata Abdul Mufit kemudian bekerja serabutan. “Kadang menjadi kuli bangunan dan saat tidak ada pekerjaan juga ikut kembali memandu wisata. “Penghasilannya tidak tetap pak. Kalau ramai bisa mendapat penghasilan kotor 600-800 ribu perbulan,” tutur perempuan dengan Zodiac Capricorn ini.
Karena itu sejak tiga tahun yang lalu, perempuan yang suka makanan pedas ini memutuskan untuk bekerja pada malam hari di lapak Bu Sate.” Kami berlatar belakang dari keluarga yang kurang mampu. Bisa dibilang masih di bawah rata-rata. Karena itu saya memutuskan untuk ikut membantu keuangan keluarga,” ujar Tamah.
Pasangan Tamah – Abdul Mufid ini sekarang dikarunia seorang anak perempuan bernama Mikaila (7) yang saat ini duduk dibangku kelas 2 SD N 02 Karimunjawa. “Kami harus menyiapkan masa depan anak semata wayang kami,” tutur ibu rumah tangga yang suka nyanyi ini. Bahkan jika anak kami libur, setiap minggu kami pasti ke pantai Bobby. Saya menyanyi dan suami memainkan gitarnya sambil menikmati terbitnya matahari pagi di pantai yang sangat indah. Karena itu IG saya juga sebagian besar berisi keindahan pantai ini, tambahnya
Menurut Tamah, karena pertimbangan waktu, akhirnya kami putuskan suami bekerja siang dan saya bekerja malam. Pagi dan siang saya tetap bisa menjaga anak dan malamnya gantian suami yang merawat anak tidak terlantar dan kurang kasih sayang orang tua,” tutur Tamah.
Tamah mengaku bekerja berangkat jam 16:30 sampai malam sesepinya tamu. Kadang jam 9 malam, kadang jam 11-12 malam. “Bayaran saya harian, tiap pulang kerja langsung dibayar. Satu tim ada 6 orang. “Alhamdulilah penghasilan kalau rame full permalam bisa mencapai 100-150 ribu. Tapi kalau hari-hari biasa 50-60 rb. Tetapi juga pernah sepi jika sedang hujan,” ujar Tamah
“Apalagi kalau musim baratan telah tiba. Susah sekali cari uang pak, bukan hanya kami sebagai pedagang, tapi juga nelayan, dan pemandu wisata juga susah bekerja karena kendala cuaca,” tuturnya
Ia kemudian menuturkan kecemasannya kalau wisatawan tidak lagi melirik Karimunjawa karena laut dan alamnya rusak. “Bagaimana kelangsungan hidup kami dan warga yang hidupnya tergantung pada kunjungan wisata,” ujar Tamah
“Sejujurnya kami menggantungkan kelangsungan hidup dari kunjungan wisatawan. Kalau laut Karimunjawa rusak, tercemar terus tidak ada wisatawan lalu bagaimana dengan nasib pelaku wisata ?, papar Tamah. Ia juga mengungkapkan nasib nelayan kecil yang hanya bisa mencari ikan dipinggiran laut yang kian sulit mendapatkan hasil. Padahal harga- harga kebutuhan pokok terus merangkak naik, tambahnya
“Kami sebagai rakyat kecil yang menggantungkan hidup kami dari sektor pariwisata hanya bisa berjuang dengan suara, berdoa dan memohon agar para pejabat mendengar kecemasan kami,” pintanya.
“Mana mungkin kami bisa tinggal diam kalau laut dan lingkungan kami dicemari limbah lalu dihancurkan. Karena itu kami harus terus berjuang hingga Karimunjawa kembali lestari,” pungkasnya penuh semangat.
Hadepe