blank
Ilustrasi etika komunikasi politik. Foto: Dok/Pixabay

Oleh: Gunawan Witjaksana

blank

ETIKA itu memang sangat subyektif. Tergantung dari siapa, di mana, kapan, serta dalam konteks apa. Namun, setidaknya secara agak obyektif sesuatu yang dilakukan itu (termasuk komunikasi politik) melanggar etika atau tidak indikatornya adalah adakah yang merasa terusik, misalnya dengan komunikasi politik yang dilakukan.

Bila ada yang terusik, maka komunikasi politik yang dilakukan itu tidak etis, atau sebaliknya dianggap etis bila tidak ada pihak lain yang merasa terusik.
Itulah peristiwa komunikasi politik yang dianggap menghebohkan saat ini, terkait dengan dideklarasikannya pasangan Capres-Cawapres Anis Baswedan-Muhaimin Iskandar baru-baru ini.

Pihak yang merasa terusik adalah Partai Demokrat melalui pernyataannya di berbagai media, yang bahkan secara keras menyebutnya pengkhianatan. Meski hakekatnya merasa terusik, Capres Prabowo Subiyanto, lebih menggunakan sindiran, yang bila kita menelaahnya dari sudut Teori Wacana Kritis, sebenarnya juga nuansanya merasa terusik pula.

Nuansa keterusikan yang terlontar melalui berbagai media melalui gaya komunikasinya masing-masing tersebut akhirnya memancing munculnya berbagai opini, baik yang pro atau pun kontra, yang secara lebih luas selain membingungkan, bisa juga merubah persepsi masyarakat, khususnya para calon pemilih.

Karena itu, hal yang perlu saling direnungkan oleh para kandidat beserta para pendukungnya ke depan adalah, tidakkah sebaiknya menghindari komunikasi politik yang bernuansa pembenaran, manipulatif serta cenderung kurang etis, karena bila itu dilakukan dan tersebar di berbagai media cenderung akan mempengaruhi kredibilitasnya? Bukankah akan lebih baik melakukan komunikasi politik yang santun, dialogis, persuasif dan dan informatif, sehingga masyarakat akan tercerdaskan?

Kredibilitas dan Kharakter

Salah seorang pakar, Yale, mengatakan bahwa kredibilitas orang atau pun meluasnya ke lembaga, dipengaruhi oleh expertness dan character. Terkait dengan expertness, kita yakin bahwa kandidat Capres-Cawapres, serta para Pimpinan Parpol itu memiliki keahlian serta intelektualitas yang memadai. Namun, yang kita amati melalui berbagai media akhir-akhir ini, masalah kharakter cenderung terabaikan.

Hal kasat mata yang paling sering kita saksikan adalah ketidakkonsistennan dalam bersikap serta berperilaku, utamanya dalam berkomunikasi. Pepatah lama esuk dele sore tempe, kerap kali kita saksikan.

Memang dalam politik itu ada prinsip tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Yang ada adalah kepentingan yang abadi. Namun, karena bagaimanapun dalam berpolitik itu menggunakan komunikasi, maka prinsip utamanya kejujuran serta etika harus diperhatikan.

Mungkin menarik perhatianlah yang menjadi daya tarik utama, sehingga momentumlah yang lebih diutamakan. Namun, bila toh setelahnya momentum yang tujuannya menarik perhatian itu mengusik pihak lain dan teramplifikasi melalui berbagai media yang mungkin saja secara liar, maka dampaknya justru akan menurunkan kredibilitasnya.

Salah Tafsir

Bila dicermati, saat ini banyak terjadi salah penafsiran yang terjadi, utamanya terhadap hasil survei. Kalau kita cermati sejumlah pihak cenderung merasa yakin dan menjadikan mereka seolah sudah mencapai kemenangan, atau sebaliknya berupaya apa pun bila hasil suveinya di bawah.

Harus kita akui bahwa secara teori dan metodologi, survei itu perlu diperhatikan hasilnya.
Namun, di sisi lain, survei yang didasarkan persepsi masyarakat ketika survei dilakukan dan menggunakan statistik sebagai probability science dengan menggunakan standard of eror, bisa salah, terlebih dinamika sosial dan politik yang saat ini sangat dipengaruhi pesatnya perkembangan teknologi komunikasi yang luar biasa. Pengalaman masa lalu yang menunjukkan pemenang survei yang ternyata kalah, seharusnya menjadi pelajaran berharga.

Karena itu, ke depan diharapkan komunikasi politik yang emphatik, etik dan tidak manipulatif perlu sama-sama mereka lakukan. Toh sejak awal, secara ideal tujuan mereka sama, demi kemajuan bangsa dan negara, dan mereka pun telah berjanji melaksanakan Pemilu yang menggembirakan sekaligus mencerdaskan.

Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Semarang