Oleh Widiyartono R.
BAHASA, secara definitif dimaknakan sebagai ”sistem lambang yang disepakati oleh sekelompok masyarakat dan digunakan sebagai sarana berkomunikasi”. Kita tidak bisa menerangkan bagaimana asal-usulnya, orang Indonesia menyebut hewan bersisik yang bernafas dengan insang disebut ikan.
Tetapi sebagai pemakai bahasa Indonesia, kita menyepakati, bahwa hewan yang semacam itu disebut ikan. Tetapi orang Jawa ”tidak sepakat” dengan itu, karena orang Jawa menyebutnya ”iwak”. Berkaitan dengan kata iwak ini, orang Jawa pun tidak spesifik menafsirkan kata ”iwak”.
Karena ada iwak banyu yang dalam bahasa Indonesia disebut ”ikan” dan iwak sapi, iwak pitik, iwak wedhus yang dalam bahasa Indonesia disebut ”daging” untuk hewan seperti ayam sapi, kambing, dsb.
Bahkan lebih lucu lagi, ketika awal tinggal di Semarang, tahun 1981, tafsir tentang iwak beda lagi. Saya indekos di rumah seorang nenek di Tlogobayem, dekat Pasar Randusari, dekat makam Bergota. Saya kos dengan fasilitas tidur dan makan dalam. Artinya Mbah Kos juga menyediakan makan bagi kami tiga kali sehari.
Setiap pagi, Mbah Kos bertanya pada anak-anak asuhnya. ”Mengko mangan iwake apa? Tahu, tempe, apa bandeng?” tanya Mbah Kos.
Lho di Semarang ternyata tahu, tempe, dan lauk yang sifatnya nabati juga disebut ”iwak”. Bahkan, orang Semarang itu aneh, makan bisa dengan iwak badhak. Maklum saja, badhak selain bermakna hewan bercula juga sebutan untuk bakwan.
Sekarang malah sudah ada lagi. Bila Anda makan nasi pecal di Simpanglima, Mataram, atau tempat lain, selain dengan lauk (bahasa Semarang iwak) badhak juga ada lauk lain bantal. Yang dimaksud bantal adalah martabak dalam ukuran mini, bentuknya mirip bantal.
Tetapi, itulah yang disepakati oleh orang Semarang. Itulah bahasa Semarang.