Utri-nya sudah jauh berbeda dengan Semarang. Dalam hal ini, Semarang dan Temanggung sudah tidak sepakat soal utri. Karena utri Semarang di Temanggung disebut lemet. Namanya berbeda sama simbolnya.

Ini baru soal singkong, bayangkan istilah lainnya, bisa jadi sangat banyak yang simbolnya sama tetapi kesepakatannya berbeda. Atau simbolnya sama tetapi namanya saling beda.

Nasi Goreng

Nah sekarang soal nasi goreng yang lagi hangat di Semarang. Nasi goreng dalam pikiran kita pada umumnya adalah nasi yang dimasak kembali dengan dibumbui bawang merah, bawang putih, cabai, garam, dan ada yang menambahinya terasi, kemiri, atau yang lain.

Cara masaknya, bumbu-bumbu itu ditumis, dengan minyak yang sedikit. Kemudian nasi dimasukkan ke wajan yang sedang digunakan untuk menumis itu. Kemudian ditambah kecap, mungkin sayur, daging, telur, atau apa pun sesai selera.

Bandingkan dengan tempe goreng, yang nyata-nyata tempe itu setelah dibumbui atau ditepungi, dimasukkan ke wajah yang berminyak (relatif) banyak.

blank
Nasi goreng yang ada dalam pikiran kita. Foto: dok

Juga pisang goreng, gethuk goreng, ayam goreng, empal goreng cara memasaknya sama. Menggoreng itu memasak dengan memasukkan benda yang digoreng ke dalam minyak pada wajan atau sejenisnya di atas api.

Apakah nasi goreng pas disebut sebagai ”nasi goreng” dengan analogi ayam goreng, pisang goreng, tempe goreng, dan sejenisnya? Apakah kita sedang tidak tersesat panjang dan lama menyebut ”nasi tumis” dengan ”nasi goreng”. Tetapi dalam soal bahasa, kita sudah ”sepakat”. Simbol semacam itu dinamakan nasi goreng.

Sesat yang lebih panjang lagi adalah mi goreng, yang justru memasaknya malah menggunakan air. Apalagi mi goreng instan. Nah, kita sudah tersesat dan telanjur sepakat untuk sama-sama tersesat.

Lalu bagaimana dengan intip goreng, yang nyata-nyata digoreng menggunakan minyak yang banyak. Inilah nasi goreng sejati, yang secara nyata memang digoreng. Apalagi sekarang banyak produk makanan yang diklaim sebagai intip goreng ternyata benar-benar nasi, yang dibentuk seakan-akan kerak nasi liwet yang menempel pada kendhil atau panci yang digunakan untuk ngliwet nasi.

Kita memang sudah banyak tersesat. Setidaknya sesat tafsir, yang kemudian menjadi salah kaprah. Kesalahan yang sudah terbiasa yang berlangsung sangat lama maka kita tidak merasa salah.

Apakah memfitnah, berghibah, mengabarkan hoaks juga sudah menjadi kaprah? Dan sesat kita makin keliwat-liwat? Nah!

Widiyartono R, Pemimpin Redaksi suarabaru.id, pemerhati bahasa