Ilustrasi. Reka: wied

JC Tukiman Tarunasayoga

 BANYAK orang menyama-artikan bocor dan trocoh, dan semata-mata dikaitkan dengan atap dan air. Apabila di saat hujan terjadi tetes-tetes air hujan jatuh di atas meja makan misalnya; orang mengatakan terjadi trocoh karena ada genting yang bocor.

Di beberapa tempat, kejadian seperti itu disebut dengan borot seraya berucap: “Wah, nggonku atape banyak yang borot” Demikianlah secara sempit dianggap sama arti antara bocor, trocoh, dan borot.

Padahal, manakala si Mukidi dupeh sedang berada di luar negeri, lalu dengan enaknya omong politik, hukum, pemerintahan secara asal ngomong bin ngawur, kondisi semacam itu pun disebut bocor. Dan kalau semakin tidak terkontrol, sangat mungkin ada orang yang lalu melihat Mukidi mengalami bocor alus alias nglantur.

Bocor

Ada tiga makna terkait bocor; pertama sudah disebutkan di awal tulisan tadi, yaitu borot atau trocoh, air merembes keluar dari ember misalnya (untuk arti borot), atau air menetes dari atap rumah tadi.

Baca juga Keputungan Laku

Arti kedua dari bocor ialah sangat cocok untuk burung, karena bocor berarti kerep ngoceh, banyak ngoceh. Untuk burung, ia disebut ganter karena sering/banyak ngoceh tadi.

Sedang kalau dalam dunia digital, orang kerap men-twit lewat twitternya, ya dapat juga disebut kakehan ngoceh, kebanyakan men-twit.

Seperti inilah arti ketiga dari bocor, yakni sugih omong seperti Mukidi yang konon katanya sedang di negerinya orang tetangga itu. Kerap menggunakan twitter seraya omong macam-macam seolah-olah paling benar dan paling pintar/tahu; dialah contoh orang bocor itu: kakehan omong, sugih omong, banyak bicara.

Mengapa? Ya mungkin gaya bocor itu ditempuhnya karena itu satu-satunya kegiatan yang bisa dilakukannya. Syukur-syukur seraya menempuh gaya bocor itu dapat juga mendatangkan keuntungan pribadi.

Trocoh

Bagaimana halnya dengan trocoh? Sudah disebutkan tadi, trocoh memang berarti borot tumrap payon, ada kebocoran di atap; namun yang lebih “berbahaya” dari arti trocoh ialah, bukan hanya karena banyak omong, melainkan ada kecenderungan seneng misuh, lan omong saru.

Baca juga Enthakara

Maksudnya, seseorang disebut trocoh jika ia suka mengeluarkan kata-kata sumpah serapah, menyebut segala hewan di kebun binatang, itulah misuh; dan di dalam pisuhannya itu sertamerta keluarlah  kata-kata jorok.

Nah……..kompletlah bahayanya bocor dan trocoh dalam kehidupan bersama saat ini. Sangat tidak mustahil men-twit secara kebablasan sehingga orang itu sugih omong, karena kontrolnya lemah akan semakin berkembang menjadi orang yang omongannya itu dibumbui maki-maki berikut jorok atau kasar.

Tentang hal ini sudah banyak bukti lewat apa yang disebut dengan “perang twitter” selama ini. Amat bahaya kondisi semacam ini, karena itu harus distop.

Hubungan ketersalingan

Apakah bocor itu anaknya trocoh atau sebaliknya, menjadi tidaklah penting; sebab yang sangat jelas antara bocor dan trocoh itu ada hubungan ketersalingan. Semakin banyak omong, -apalagi terjangkit bocor alus tadi-, dorongan untuk semakin keras omongannya seraya maki-maki semakin sangat mungkin; dan semakin sering maki-maki, siapa pun akan semakin senang menyangatkannya dengan omong jorok atau kasar.

Oleh karena itu, menurut hemat dan usulan saya, pemerintah sebaiknya semakin menertibkan penggunaan media-media digital lewat kontrol digitalistiknya. Maksudku, perlu ada alat digital yang automatis mengontrol atau “mematikan” manakala ada tulisan yang arahnya kepada (a) banyak omong dan asal omong/tulis; (b) menjurus ke kata-kata makian, serta (c) ada kecenderungan omong jorok dan kasar.

Dengan kata lain, karena dewasa ini  perangkat digital itu sangat “menguasai” kehidupan, maka kita perlu menemukan solusi tercepatnya juga lewat perangkat yang bersifat mengontrol secara digitalistik.

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University (SCU)