Ilustrasi. Reka: wied

JC Tukiman Tarunasayoga

SANGAT tidak mustahil, Suta, Naya, Dhadhap, Waru yang sudah gencar pasang baliho berupa foto diri di berbagai tempat dalam rangka nyalon, jebul lambat laun atau bahkan tiba-tiba perjalanan mereka itu terhenti.

Di mana terhentinya? Orang umumnya mengatakan terhenti di tengah perjalanan.

Itu namanya kandheg, terhenti, atau mungkin juga dihentikan oleh pihak internal maupun eksternalnya. Pertanyaannya, mengapa kandheg, terhenti atau dihentikan?

Laku

Hidup ini sangat pas manakala dilukiskan sebagai sebuah perjalanan bersama, entah perjalanannya itu ditempuh lewat darat, laut, atau pun udara. Berikutnya, ada berbagai perlukisan atas perjalanan semacam itu.

Ada kelompok orang mengibaratkan kebersamaannya itu berada di dalam bahtera yang mengarungi laut. Karena itu wajar bila datang ombak, angin kencang, dan berbagai hambatan, namun tujuan utama perjalanan haruslah selalu menjadi fokus.

Ada juga yang melukiskan hidup ini sekedar mampir ngombe, sekedar singgah untuk mereguk segelas air, lalu melanjutkan perjalanannya. Dan apa yang terjadi menjelang Waisak lalu, yaitu ada perjalanan sejumlah biksu dari Thailand ke Borobudur dengan istilah tudhong-nya. Itu gambaran sangat jelas betapa laku itu harus ditempuhnya.

Ada delapan makna laku, mulai dari laku itu berarti tindak, obah maju, tumindak, artinya bergerak dan tidak berhenti; lelungan, yaitu bepergian, cara, tingkah laku, atau pun juga sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan.

Baca juga Tangeh 

Di samping itu, laku juga bermakna sesirik, yaitu berpantang dan berpuasa, dan jangan lupa laku juga berarti payu, layak dijual. Di antara berbagai makna laku ini, bagi Suta, Naya, Dhadhap, Waru tadi, mungkin saja nantinya aka nada yang terhenti di perjalanan nyalon-nya karena alasan kehabisan amunisi. Itulah keputungan laku.

Keputungan

Keputungan laku, sebuah peribahasa Jawa dan menjadi peribahasa yang sangat tepat entah bagi Suta dan nama-nama yang disebut tadi manakala ada yang kandheg amarga kekurangan srana. Itulah arti kaputungan laku, terhenti akibat dari kekurangan sarana atau daya dukung yang semestinya.

Siapa bakal mengalami nasib seperti itu? Suta, kah; atau Naya, atau si Waru, Mukidi, Markonah? Entahlah, tetapi pasti ada di antara mereka yang nyalon ituada saja yang akan mengalami keputungan laku.

Kekurangan sarana dan/atau daya dukung bukanlah suatu hal yang mustahil dalam konteks persaingan, apalagi persaingan politik; dan terhentinya itu bisa terjadi di bulan Agustus nanti, mungkin juga bulan-bulan berikutnya; bahkan kelak setelah coblosan (pemilu) pun bisa karena suara yang diperoleh tidak menyukupi persyaratan.

Tegasnya kehabisan amunisi sangat mungkin terjadi kapan saja di tengah perjalanan berpolitik.

Baca juga Enthakara

Apa saja wujud daya dukung dan sarana itu? Lagi-lagi dalam konteks Suta, Naya, Dhadhap, Waru yang sedang nyalon, daya dukung utama tentu saja dana. Bisa kehabisan dana justru ketika masih di tengah perjalanan. Daya dukung juga terletak atau ditentukan oleh laku si Suta dkk.

Bukannya tidak mungkin gembos atau digembosi oleh teman sendiri atau lawan, juga menjadikan ada saja yang bakal keputungan laku.

Keputungan, asal katanya putung; dan sesuatu disebut putung itu jika tugel untuk sebuah barang; yaitu barang itu (contoh jembatan kayu) patah menjadi minimal dua bagian.

Putung juga dapat berarti pedhot, putus; maka kalau ada ungkapan si Waru mutung (asal katanya putung), itu berarti Waru mengambil keputusan untuk rampung, berhenti, memutus rantai nyalon-nya.

Imbauan sebagai simpulannya ialah keputungan laku, yaitu kandheg amarga kekurangan srana, terhenti karena habisnya daya dukung, adalah sebuah keniscayaan.

Maka idealnya, semua pihak yang nyalon, bukan saja Suta, Naya, Dhadhap, Waru, Markonah, Mukidi, hendaklah menyadari terus hal ini sebagai keniscayaan yang dapat terjadi dalam perjalanan berpolitik.

Bahkan mungkin saja, daya dukungmu dalam hal dana/harta ora kurang-kurang, namun Anda nanti nantinya keterpilihan Anda memenuhi persyaratan. Sarannya, berusaha dan berdoalah senantiasa, Ora et Labora, begitu orang berucap dalam bahasa Latin, berdoa dan bekerjalah.

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University