JC Tukiman Tarunasayoga
BICARA tentang pemilu, dalam arti coblosannya, sebenarnya terhitung masih “lama,” lha wong isih suk 14 Februari 2024. Masih delapan bulan lebih lho. Itu jika dipandang dari kepentingan masyarakat pada umumnya. Untuk melukiskan betapa masih jauh atau lamanya, ada beberapa ungkapan, misalnya isih ngaluk-aluk adohe, isih tangeh.
Bacalah tangeh sebagaimana Anda mengucapkan Sangeh atau minum teh, atau pun pegunungan Menoreh. Boleh juga dikaitkan dengan makan sayur lodeh. Kalau dirangkai menjadi kalimat, nuansanya romantis juga: “Di lereng pegunungan Menoreh, Pak Suta dan bu Siti sedang menikmati sayur lodeh dan secangkir teh, seraya ingat anak cucunya yang sedang wisata di Sangeh, Bali.”
Ada dua makna tangeh, yang pertama telah disebutkan, yaitu isih adoh, isih suwe; masih lama atau masih jauh. Contohnya tentang hari coblosan tadi. Dan makna kedua tangeh ialah mokal, yakni mustahil terjadi.
Dalam percakapan sehari-hari apa yang sulit bahkan mustahil terjadi itu diungkapkan dengan tangeh lamun. Misalnya: “Tangeh lamun kowe bisa dadi anggota DPR” seolah-olah mencegat nasib baik seseorang dengan mengatakan, “mustahil engkau dapat menjadi anggota DPR”.
Benarkah?
Benarkah pemilu masih lama? Tadi telah disebutkan, dari sisi masyarakat umum yang lebih terfokus pada coblosannya; memang dapat dikatakan masih cukup lama, isih tangeh, isih suwe (sering dilukiskan suwiiiiii – lama sekali).
Masih amat banyak kesempatan bagi masyarakat untuk memelajari visi misi parpol yang tentu saja diterjemahkan ke dalam visi misi caleg-calegnya. Juga masih cukup waktu dan tersedia kesempatan luas untuk mengetahui dan menggali track-record para caleg, termasuk tentu saja menggali berbagai sumber informasi terkait dengan parpol yang menawarkan berbagai program.
Bagi masyarakat, masih sangat cukup waktu untuk menggalang kekuatan massa misalnya mau mendukung caleg tertentu atau parpolnya, mau ikut terjun secara aktif ke mana pun dalam rangka berperan optimal demi mendukung kepentingan masyarakat.
Baca juga Enthakara
Dalam hal ini ada saran yang rasanya pantas dipikirkan, yaitu pertama-tama sebaiknya masyarakat diberi pendidikan politik lewat menyermati parpol. Betul-betul visi misi parpol dicermati; dan setelah merasa puas dengan pilihan parpolnya, baru cermatilah caleg-calegnya.
Kelak pada saatnya, warga masyarakat pasti ada saja yang bertanya: “Kula kedah milih sinten?” , kami harus memilih siapa; dan jawaban untuk pertanyaan itu telah tersedia.
Tegasnya, karena bagi masyarakat waktunya masih panjang, isih tangeh, mari kita galakkan pendidikan politik kebangsaan seraya mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan umum; dan jauhkan politik identitas karena hanya akan mementingkan kepentingan sendiri.
Mendesak
Dari sisi partai politik dan kader-kader calonnya, 14 Februari 2024 itu sudah di depan mata dalam arti semakin dekat dan mendekat terus. Bagi mereka ada sejumlah hal mendesak karena itu sering kurang sabar menjalani proses yang seharusnya.
Di antara hal-hal yang mendesak itu tentulah berkaitan dengan bagaimana berkesempatan bertemu dengan konstituen sesering mungkin untuk meyakinkan mereka agar nanti memilihnya. Padahal konstituen dirasa ada di mana-mana.
Parpol dan calon-calonnya pasti merasa mendesak juga dari sisi karena berpacu melawan “lawan” parpol dan calon-calon lain; dan dalam berpacu ini, wajar jika ada saja yang merasa sangat tergesa-gesa untuk segera berbuat, misalnya ingin segera kampanye secara terbuka. Padahal waktu untuk kampanye terbuka jan-jane isih tangeh juga.
Baca juga Urik
Jadi intinya, dipandang dari sudut waktu dalam arti dari saat ini sampai dengan 14 Februari 2024, siapa pun memiliki waktu yang sama, yaitu masih sekitar tujuh atau delapan bulan. Bahwa parpol dan para calegnya kemrungsung, sangatlah bisa difahami; sementara bagi masyarakat sangat-sangat isih tangeh dan harus dimanfaatkan untuk melihat cermat-cermat banyak aspek terkait parpol dan calon-calonnya.
JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University