JC Tukiman Tarunasayoga
KETIKA di suatu Senin di bulan Januari lalu –serial tulisan saya ini diposting tiap hari Senin– saya menulis tentang suthik.
Seorang teman di Bekasi Jabar menanggapi: Bukankah suthik itu semacam alat atau barang kecil untuk mengorek-ngorek sesuatu? Pertanyaan itu belum sempat saya jawab, dan sekarang inilah jawabannya: “Bukan! Apa yang bapak katakan itu lebih tepatnya urik, bukannya suthik.”
Memang. Salah satu arti urik ialah piranti kanggo ngureki, alat sederhana untuk mengorek-korek sesuatu; dan kalau ada suatu barang sedang diureki, itu artinya barang itu mungkin akan dan sedang dilobangi atau dikrowok. \
Untuk maksud apa barang itu diureki, dikasih lobang? Entahlah, namun yang jelas seseorang sedang melakukan sesuatu dengan menggunakan alat yang namanya urik.
Diuriki
Awas, bacalah baik-baik dan cermati bedanya antara diureki lan diuriki. Apa yang telah ditulis di atas ialah diureki nganggo urik, sedang yang akan dijelaskan berikut ialah diuriki. Apa itu diuriki?
Baca juga Kapan Towang, Euy?
Sebutlah segala polah dan hiruk pikuk manusia di atas muka bumi ini sebagai sebuah permainan (kalau seorang penyanyi menyebutnya sebagai panggung sandiwara).
Termasuk tentu saja aktivitas manusia dalam pemilihan umum (pemilu), sebutlah itu sebagai bagian dari sebuah permainan (juga). Dan namanya permainan, siapa pun pasti ada saja yang (akan) tergoda untuk main-main dan mempermainkan.
Caranya bagaimana? Ada seribu satu cara untuk main-main atau pun mempermainkan, namun intinya adalah ngakali srana nyimpang saka pranatan. Nguriki, itu berlaku urik; dan siapa yang berlaku urik ialah dia atau mereka yang tadi disebutkan ngakali srana nyimpang saka pranatan, berlaku tidak jujur dengan cara menyimpang dari aturan yang telah ada.
Itulah urik, yakni ora bares, tidak jujur, main curang; dan yang dipakai sebagai medianya tentu saja permainan itu sendiri berikut segala aturan permainannya.
Kalau urik diterapkan di laga sepak bola, ya berarti cara nguriki-nya tentu saja segala permainan dan aturan permainan di sepak bola.
Dalam sepakbola itu ada banyak peran dijalankan: ada pelatih, ada manajer, ada pemain, ada wasit, dan ada lainnya lagi. Siapa dapat urik di sana? Pemain bisa, wasit bisa, pelatih bisa. Caranya? Bermacam-macam cara, tetapi semua cara itu ditentukan oleh apa tujuan urik-nya.
Mau menang atau mau kalah. Memang ada permainan dengan tujuan mau kalah? Dunia ini, panggung sandiwara …………….
Urik-urikan
Kalau urik bermakna tidak jujur lewat menyimpang dari aturan; maka tindakannya disebut urik-urikan, maksudnya akal-akalan. Siapa pun sangat berpeluang untuk akal-akalan seperti ini; lagi-lagi yang kepingin (ngebet??) menang sangat mungkin menjalankan urik-urikan, pun yang (sengaja) mau kalah, -apalagi yang jelas akan kalah- , sangat mungkin juga bertindak/bermain akal-akalan. Komplitlah makna urik lan urik-urikan itu.
Sedemikian suram seperti itukah makna sebuah permainan karena “niscaya” disertai urik lan urik-urikan? Tentu saja tidak. Mereka yang berlaku urik atau urik-urikan, dari segi jumlah pasti amatlah sedikit; dan jangan lupa mereka pasti akan “main cantik” agar tidak nampak sedang bertindak urik utawa urik-urikan.
Dalam macam-ragam tindakan urik utawa urik-urikan oleh segelintir orang itu, masyarakat diharapkan tidak sekedar berlaku sebagai penonton dan bersorak belaka. Masyarakat memang bukan wasit permainan, namun tetap dapat memberikan masukan, koreksi, bahkan protes manakala menengarai ada tindakan urik utawa urik-urikan. Inilah yang disebut kontrol sosial dan porsi masyarakat terutama ada di sini ini.
Dalam konteks pemilu, kontrol sosial masyarakat dapat diaktualisasi antara lain lewat mengritisi para “tokoh/pemain” agar mereka tidak menempuh cara-cara urik lan urik-urikan.
JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University