blank
Ilustrasi" Widiyartono R.

JC Tukiman Tarunasayogablank

PAGI ini si Badu ngomong “dari sumber terpercaya menyebutkan bahwa segera keluar putusan terkait sistem pemilu tertutup,” siang ini juga si Dadap segera merespon “bila begitu, akan terjadi chaos nih”.

Dan sebentar sore pasti sudah akan ada tanggapan lain dari si Suta:  “Itu namanya telah membocorkan rahasia.” Apa yang terjadi besok paginya? Sertamerta muncul respons dari si Naya: “Sidang juga belum, mana mungkin sudah ada putusan?”

Agak siang sedikit ramailah tanggapan dari Beja, Markonah, Mukidi dan lain-lain; dan malam harinya sudah muncul semacam “ancaman” dari si Bolang: “kami mungkin akan menyabut wewenang lembaga itu, kelak.”

Nah inilah, rupanya tanda-tanda “kedewasaan”  dewasa ini. Dulu, orang disebut dewasa bijak-bestari itu kalau sabar, rela menunggu perkembangan lebih lanjut, penuh analisis dan pertimbangan, tunggu waktu yang tepat. Ringkasnya, ora grusa-grusu.

Namun, akhir-akhir ini, “kedewasaan” banyak pihak sering ditandai dengan (1) siapa cepat melempar isu, dia akan menjadi trending, dan banggalah dia; (2) cepat merespons padahal belum tentu sudah melakukan check dan recheck atas lemparan isu tersebut; (3) jika diperlukan harus disertai ngegas entah omongannya, entah kontennya, malah  (4) ditambah ngancam, atau minimal sindir-menyindir layaknya orang-orang kurang piknik.

Satu, dua, tiga, dan empat itu dilakukan oleh siapa?  Faktanya, oleh orang-orang dewasa, bisa juga orang berkedudukan dan terhormat.  Pertanyaannya, “Dikau nyadar gak sih, Om?”

Towang

Di samping pertanyaan di atas, tentu saja ada yang bertanya-tanya: “Kapan towang, euy? Bosen nih, karena siklusnya sekarang ini menjadi semakin pendek. Minggu ini terlepmar isu A, dan segera subur sindir-menyindir penuh silang respons; berganti minggu berganti pula yang “viral,” begitu minggu berikutnya.

Baca juga Kegiwang atau Keguh, Nih?

Takutnya, jika cara berfikir yang berkembang selalu dan selalu seperti itu, keutamaan orang-orang dewasa (baca: berpangkat, bijak, akademisi, dsb) benar-benar akan berubah menjadi, maaf, tidak dewasa. Maka, kapan towang, euy?

Towang, -bacalah seperti Anda mengatakan sowan, atau Bolang, atau kondhang- ; artinya satu lowong, yaitu  kosong; dua, ora isi, tidak berisi; dan tiga, sela, maksudnya jeda, longgar. Nuansa ikutannya ialah ora towang, dan ungkapan ora towang ini maknanya tansah lumintu, silih berganti tidak ada hentinya. Lagi-lagi khawatir nih  jika cara berfikir orang orang tokoh saat ini secara silih berganti menunjukkan bukti  “semakin tidak dewasa, waduhhhhh.”

Mengatasnamakan masyarakat, wajarlah jika disampaikan beberapa imbauan kepada para tokoh bangsa yang sedang dalam bahaya menjadi “berkurang kedewasaannya” saat ini.

Pertama, mari mengutamakan kepentingan berbangsa dan bernegara dalam kebersamaan meski pun memang kita itu sangat bhinneka. Caranya bagaimana? Jauhkanlah diri Anda dari satu, dua, tiga, dan empat di atas, yaitu (1) siapa cepat melempar isu, dia akan menjadi trending, dan banggalah dia; (2) cepat merespons padahal belum tentu sudah melakukan check dan recheck atas lemparan isu tersebut; (3) jika diperlukan harus disertai ngegas entah omongannya, entah kontennya, malah  (4) ditambah ngancam, atau minimal sindir-menyindir layaknya orang-orang kurang piknik.

Kedua, alangkah indahnya kalau semua pihak sekarang ini berkenan untuk bernafas panjang, jangan malah menyuburkan iklim bernafas pendek. Bernafas panjang itu makna konkritnya antara lain (a) serba check dan recheck atas info apa saja; (b) rendah hati, bukan tinggi hati, dalam  menyikapi apa pun dan siapa pun, lebih-lebih terhadap info yang sensitif dalam konteks pemilu.

Selanjutnya, (c) berhubung sudah semakin longgar untuk bisa bertatap-muka; sebaiknya siapa pun perlu semakin sering melakukan pertemuan tatap-muka; dan kurangi sebanyak mungkin pertemuan tatap-Hape.

Ketiga, berilah contoh langsung kepada masyarakat tentang berkarakter sabar, ora grusa-grusu grudugan, ugahari dalam arti rendah hati lembah manah, dan yang paling mendasar ialah aja rumangsa juwawa adigang-adigung-adiguna, sok hebat. Anda itu orang penting dan berkedudukan di negeri ini; maka berilah contoh baik, jangan contoh jelek.

Dan keempat, berfikirlah bahwa kekuasaan itu mung limang tahunan. Jangan mempertaruhkan segala reputasi Anda hanya sekedar berfikir pendek lima tahunan. “Terlalu kecil bagimu, Om kalau sekedar bersitegang hanya untuk berjibaku  untuk kepentingan sependek lima tahun(an).“  Berhentilah bertikai!!

JC Tukiman Taruna Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University