blank

SUARABARU.ID Dosen Fakultas Hukum (FH) Unissula Prof Dr Edi Slamet Irianto mengusulkan dibentuknya Kamar Pajak di Mahkamah Agung. Tujuannya untuk menyikapi putusan MK yang mengabulkan Pengadilan Pajak berada di bawah MA. Kewenangan pengadilan pajak sebelumnya berada dibawah di Kementerian Keuangan.

“Berdasarkan Pasal 24 ayat 3 UUD1945, Pengadilan Pajak adalah pengadilan khusus, maka Pengadilan Pajak dapat berdiri secara otonom tidak termasuk dalam lingkungan PTUN. Agar dapat masuk secara utuh di bawah Mahkamah Agung, maka diperlukan adanya Kamar Pajak di MA. Sebab keduanya memiliki beberapa perbedaan, meliputi subjek hukum, objek hukum, sampai dengan lembaga yang menyelesaikan sengketa pajak,” ungkap Edi dalam seminar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM (24/6).

Lebih jauh ia menyebut hukum pajak dapat terbagi dalam hukum pajak formal dan material. Hukum material memuat norma-norma yang menerangkan keadaan, perbuatan, dan peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak. Sementara itu hukum pajak material mengatur objek pajak, subjek pajak, sampai dengan dasar pengenaan pajak dan tarif pajak.

Adapun hukum pajak formal mengatur perihal prosedur pelaksanaan tentang pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban perpajakan atau hukum acara perpajakan itu sendiri. Hukum pajak formal menjadi bentuk aktualisasi atau pengejawantahan dari hukum pajak material.

“Hukum pajak di Indonesia kecenderungan menjadi ilmu yang mandiri. Negara atas dasar hukum pajak banyak melakukan pungutan, seperti pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, PNBP (penerimaan negara bukan pajak), dan pungutan lain yang bersifat memaksa,” lanjutnya.

Menurutnya, antara hukum pajak dengan hukum administrasi negara (HAN) perlu mendapat pemikiran serius dan pengkajian secara mendalam untuk menjadikan hukum pajak sebagai cabang hukum tersendiri dan tidak lagi berada dalam kamar HAN. Sebab, secara garis besar HAN menjadi cabang dari hukum publik.

“Ini membuat hukum pajak menjadi hukum publik yang menjadi bagian dari HAN. Di sisi lain, hukum pajak tidak mempunyai kewajiban untuk tunduk pada UU PTUN, mengingat penyelesaian sengketa pajak berada pada pengadilan pajak,” jelas Edi.

Dengan demikian, ia berpandangan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023 yang memandatkan Pengadilan Pajak secara penuh berada di bawah MA, yakni dasar pemisahan hukum pajak dari HAN karena adanya berbagai perbedaan subjek hukum, objek hukum, hingga sengketa pajak yang bersangkutan.

“Perihal subjek hukum HAN berlaku perseorangan berupa pejabat administrasi negara atau pejabat tata usaha negara. Berbeda dengan hukum pajak, meliputi pembayar pajak berupa perseorangan, badan hukum, pemotong/pemungut pajak. Di dalamnya, termasuk pejabat adminitrasi negara. Selanjutnya mengenai objek hukum, bila dalam HAN adalah keputusan administrasi negara, dalam hukum pajak didasarkan pada transaksi ekonomi, perbuatan atau peristiwa yang menurut undang-undang pajak merupakan objek yang harus dan/atau dikenakan pajak dan/atau terhutang pajak,” jelasnya.