Oleh: Amir Machmud NS
// kepada siapa nasib memihak?/ di titik waktu yang sama/ memberi rasa yang tak sama/ ini hariku/ esok mungkin harimu…//
(Sajak “Meretas Nasib”, 2023)
SEBERAPA dingin tangan-tangan mereka di pusaran pembangkitan?
Pusaran nasib memberi tempat yang berbeda-beda kepada para peracik taktik klub sepak bola.
Erik Ten Hag memang “hanya” mengantar Manchester United meraih tiket Liga Champions, plus sukses meraih Piala Carabao (Piala Liga), dan 6 Juni nanti masih menguji tangan dingin melawan Manchester City di final Piala FA; namun simaklah: capaian itu cukup memberi isyarat kebangkitan bagi MU, yang dalam beberapa musim mengalami kebuntuan untuk kembali ke habitat sepatut nama besarnya.
Dalam deret harapan, terdapat pula Mikel Arteta, yang mengantar Arsenal ke tangga kedua klasemen Liga Primer. Lantaran inkonsistensi di laga-laga menentukan, Meriam London gagal menjadi pemuncak yang kemudian diambil alih Manchester City.
Pun, jangan abaikan Eddie John Frank Howe. Dia mendampingi kebangkitan Newcastle United untuk bercokol di urutan keempat di bawah City, Arsenal, dan MU; satu strip di atas Liverpool dan dua trap dari Brighton. Lolos ke Liga Champions adalah bukti Newcastle bakal meramaikan persaingan elite Liga Primer. Di bawah manajemen berkucur dana, Muhammed bin Salman dengan Public Investment Fund-nya, The Magpies diperkirakan bakal menjadi-jadi karena punya modal kuat membeli pemain.
Satu lagi, Roberto De Zerbi memberi suguhan berkualitas lewat impresivitas Brighton & Hove Albion. Menembus papan atas klasemen, memosisikan pelatih asal Italia itu sebagai sosok spesial yang berderet dengan Arteta, Ten Hag, dan Howe.
Jalan nasib kuartet taktikus itu berkebalikan dengan Graham Potter dan Frank Lampard di Stamford Bridge. Chelsea tiba-tiba mandek, anjlok sedemikian rupa. Peringkat ke-12 jelas bukan gambaran nama besar klub yang pernah malang melintang itu.
Pergantian kepemilikan dari Roman Abramovich ke Tim Boehly tidak menyegarkan perjalanan manajemen, justru mempurukkan The Blues ke kompleksitas problem. Potter dan Lampard tak mampu mengurai. Ketika Mauricio Pochettino, yang identik dengan Tottenham Hotspur dan sempat “singgah” di Paris St Germain didatangkan, akankah nadi kebangkitan Chelsea terdenyutkan?
Proyeksi Ten Hag
“Ini baru awal,” tutur Erik Ten Hag merespons hasil musim pertamanya di Old Trafford. Setahun silam, Setan Merah gagal lolos ke Liga Champions. Musim ini, dari 33 laga kandang di semua event Manchester Merah menang 27 kali. Sisanya empat kali imbang dan dua kali kalah. Hanya Brighton dan Real Sociedad yang bisa menundukkan MU di Theater of Dream.
Dia mampu menyamai rekor sang legenda, Alex Ferguson, yang punya catatan serupa pada 2002-2003 dengan 27 kemenangan, empat seri, dan dua kalah, dari Bolton Wanderers serta Real Madrid.
MU era Sir Alex membukukan 81 gol, sedangkan MU Ten Hag 69 gol. Dalam pertahanan Ten Hag lebih baik dengan hanya kemasukan 20 gol.
Pada awal musim, MU terseok-seok, seolah-olah meneruskan kondisi musim lalu. Stadion Old Trafford bagai kehilangan daya magisnya. Kini Ten Hag menyebut kemajuan-kemajuan itu sebagai modal untuk kembali ke habitat MU yang sesungguhnya.
Suasana hati Ten Hag dan MU berkebalikan dengan kondisi Chelsea, yang mengarungi musim terburuk. Klub dengan tradisi kuat itu hanya menduduki 12 besar, tanpa gelar, dan seperti “lupa cara untuk menang”.
Psikologi pergantian pemilikkah yang menjadi salah satu biang keterpurukan Pasukan Stamford Bridge?
Belanja pemain muda dengan harga-harga tinggi, dan empat kali ganti manajer, belum mampu menepis kemuraman. Frank Lampard, sang legenda kehilangan cara membangkitkan klubnya. Hingga akhir musim, dia hanya mencatatkan sekali menang, dua kali seri, dan enam kali kalah.
Bertumpuk Masalah
Berbeda dari optimisme Ten Hag untuk MU, Lampard mengingatkan kepada sang pelatih baru, Mauricio Pochettino, betapa pelik masalah yang dihadapi Chelsea. Dari situs resmi klub, detik.com menyajikan lengkap “curhat” Super Lampard, “Biarkan manajemen kepelatihan nanti bekerja untuk menciptakan identitas yang solid di dalam tim. Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dan masalah standar mungkin terdengar sederhana, tetapi itu yang menjadi masalah tim ini, dan tidak bisa diselesaikan dalam semalam”.
Tak sekali dua kali Lampard menghardik para pemain Chelsea. Menurut dia, para pemain harus bertanggung jawab atas hasil di lapangan, karena semangat juang dan hasrat mau menang yang tak terlihat.
Dia melihat standar kolektif pemain telah menurun, sehingga tidak bisa bersaing di level tertinggi dan bermain cepat ala Liga Inggris. Setiap tim hebat harus saling bersama di ruang ganti, harus vokal, harus berkompetisi, dan bersaing demi mendapatkan tempatnya di skuad.
Chelsea sekarang, katanya, terlalu gemuk dengan pemain-pemain yang kecewa karena beragam alasan. “Saya bisa jujur tentang hal itu, karena ini adalah pertandingan terakhir saya. Saya mungkin tidak akan sering melihat beberapa dari mereka lagi,” ujarnya.
Ruang dinamis pembangkitan tim-tim sepak bola memang selalu menyertakan kisah dengan segala “local colour”-nya. Sebuah klub tidak mudah bertahan di level yang sama. Dan, pasti ada dinamika, selain konsistensi internal juga “rongrongan” kekuatan-kekuatan yang tak henti bergerak sebagai realitas objektif kompetisi.
Arsenal, MU, Newcastle, dan Brighton sedang dalam api up-trend. City masih di orbit atas. Sedangkan Liverpool dan Chelsea disibukkan ikhtiar pembangkitan. Ada kisah, ada romantika, dan bukankah semua bergerak untuk menemukan jalan masing-masing?
Di balik itu, ada tangan-tangan yang menguji peruntungan, dari yang “dingin” hingga yang “panas”…
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —