blank
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa. Foto: Dok/SB

IESR menilai implementasi taksonomi ASEAN ini perlu dioptimalkan seiring keketuaan Indonesia di ASEAN 2023.

Indonesia dapat memperkuat kerja sama di antara negara-negara ASEAN dalam mengatasi tantangan transisi energi, di antaranya rendahnya investasi di sektor energi terbarukan dan pengakhiran operasional PLTU batubara.

Indonesia telah memiliki beberapa peluang pendanaan internasional untuk pengembangan energi terbarukan dan pengakhiran operasional PLTU batubara melalui Just Energy Transition Partnership (JETP), Energy Transition Mechanism (ETM), dan Clean Investment Fund-Accelerated Coal Transition (CIF-ACT) dengan total USD 24,05 miliar.

Namun, IESR mengkaji setidaknya diperlukan USD 135 miliar hingga 2030 untuk biaya transisi energi di Indonesia, termasuk pengakhiran operasi PLTU.

“Masuknya pembiayaan pengakhiran operasional PLTU ke dalam kategori kuning dan hijau menjadi akan memperbesar peluang untuk melakukan pendanaan terkait transisi energi atau transition finance. Perlu adanya komunikasi yang jelas dari pihak regulator kepada pelaku usaha dan lembaga keuangan untuk memperbolehkan pembiayaan untuk kegiatan tersebut. Sebab, beberapa lembaga keuangan sudah melakukan komitmen untuk tidak lagi mendukung pendanaan terkait batubara. Namun, tentunya kategori kegiatan ini berbeda,” jelas Farah Vianda, Koordinator Proyek Pembiayaan Berkelanjutan, Ekonomi Hijau, IESR.

Berdasarkan analisis IESR, selama lima tahun terakhir, rata-rata investasi energi terbarukan hanya mencapai USD 1,6 miliar per tahun atau 20 persen dari total investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23% di 2025. Sementara itu, menyoroti dukungan internasional, berdasarkan hitungan IESR, terdapat potensi pendanaan dari internasional sebesar USD 13,1 miliar atau 35,4% dari total proyeksi kebutuhan pembiayaan sebesar USD 36,95 miliar pada tahun 2025 untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23%.

“Transisi energi penting diakselerasi untuk menarik investasi, meningkatkan daya saing industri, dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Oleh karena itu perlu diakselerasi dengan cara membangun ekosistem pengembangan teknologi emisi bersih seperti energi terbarukan,” kata Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR.

Menurutnya, taksonomi hijau merupakan langkah awal. Selanjutnya, pemerintah bisa memformulasikan kebijakan jangka panjang yang memberikan kepastian investasi energi terbarukan dan menciptakan kerangka regulasi yang minimal setara antara energi terbarukan dan energi fosil.

Deon menambahkan, kedua faktor tersebut menjadi penting untuk mengurangi resiko investasi di energi terbarukan dan menarik pendanaan untuk proyek energi terbarukan. Lainnya, insentif untuk industri teknologi energi bersih perlu dibangun agar Indonesia dan negara ASEAN lain juga mendapat manfaat pertumbuhan ekonomi yang lebih optimal dari transisi energi.

Ning S