blank
Ilustrasi. Foto: Rek wied

blank

BELAJAR metafisika itu, otak ditarik ke dengkul dulu. Tidak perlu banyak mikir atau menganalisis. Kenapa? Kebanyakan bertanya dan menganalisis hanya (menghasilkan) banyak tahu, namun sedikit bisa. Ibarat ember, kosongkan dulu agar bisa menerima isi yang lebih banyak.

Tahun 1995 awal kali mengenal hipnosis, saya sempat “kaget spiritual”, karena semua harus ketemu ilmiahnya. Saya disentil  kejadian di sekitar rumah sendiri. Tanpa jelas penyebabnya, nafsu makan anak saya sering drop dan saya harus membeli obat tetes ke apotek untuk memicu nafsu makannya.

Oleh Ibu saya disarankan minta bantuan sesepuh yang rumahnya hanya 15 meter dari rumah. Antara percaya tidak percaya, setelah dibacakan mantra lalu ubun-ubun anak saya ditiup, 10 menit kemudian,  anak saya nafsu makannya langsung normal.

Nah, logikanya di mana, tanya saya dalam hati. Padahal, sebelumnya anak saya tidak diinduksi, dan tidak pula disugesti, “mulai saat ini dan seterusnya, Anda doyan makan, bla, bla, bla… dan begitu sampai rumah, langsung doyan makan”.

Karena saya anggap itu ilmu unik, lain hari  saya mengajak teman untuk memelajari ilmunya. Sayangnya saat belajar itu logika saya “menolak”, karena teks amalan atau mantra yang diberikan itu menurut pemahaman saya tidak nyambung dengan ilmunya.

Yaitu  “raiku kaya bulan tanggal rolas” yang artinya, wajah saya seperti bulan tanggal keduabelas.” Otak saya langsung menganalisis, mantra yang diberikan itu ngawur atau salah, sengaja tidak diberikan mantra aslinya, justru mantra pengasihan yang diberikan. Dia belum ikhlas memberikan ilmunya.

Karena ragu, saya urung belajar, sedangkan teman saya yang tidak punya tradisi menganalisa itu mantab lalu menjalani laku batinnya, dia mantap dan berhasil.

Baca juga Mudik dan Wasilah Terminal Pulogadung – 2

Setelah tahu bahwa teman saya berhasil, saya menyadari bahwa untuk belajar metafisika itu otak harus ditarik atau dipindah ke dengkul.  Namun bagi yang yang terbiasa menganalisa, untuk merubah pola pikir itu tidak mudah, karena ini harus  selaras antara lisah dengan hati.

Dulu pertama kali saya belajar metafisika (SMP kelas III), saya menjalankan setiap aturan main yang diberikan guru dan tanpa  menganalisa, faktor  keberhasilannya bisa dibilang mendekati 95 persen.

Lima belas tahun kemudian ketika saya mulai mempelajari hypnosis, yang berkaitan dengan metafisika, terkadang muncul keraguan, dan ketika mulai terkontaminasi dengan banyak keilmuan, keyakinan saya justru tidak semantap pada zaman remaja dulu.

Karena itu kita perlu berlatih untuk memindahkan otak, kapan harus di atas (kepala) dan kapan harus diseret ke dengkul. Dan itu tidak berarti kita  harus melepas ilmu yang “modern,” yang kita lakukan adalah  sesaat diparkir dulu di garasi, dan jika nanti ada job calteran bisa dimanfaatkan lagi.

Namun demikian, tidak semudah itu menyuruh orang untuk memindah otak ke dengkul. Sebagai pelaku metafisis kita juga perlu menegetahui  wadah ilmu murid dan  prediksi bakatnya kearah mana energi akan terbentuk jika diolah oleh dirinya.

Karena ada beberapa tipe orang yang memang tidak berbakat dengan  ilmu metafisik  dan yang seperti itu sebaiknya mempelajari ilmu teknik, semacam hipnosis, NLP, dsb.

Belajar dari kisah pewayangan, Bima saat mencari air perwita sari, oleh gurunya Resi durno diminta untuk masuk ke laut. Karena dia tidak banyak tanya, madep, mantep, yakin dan tulus masuk laut akhirnya mendapatkan air perwita sari.

Demikian juga dengan Bambang Ekalaya (Palgunadi) yang belajar dengan patung Resi Durna, dia menghidupkan imajinasinya melalui patung yang dianggap sebagai gurunya saat berlatih. Sehingga Arjuna pun kalah dengan  Ekalaya.

Zaman sekarang komunikasi dengan  guru setiap saat bisa di bimbing, namun kenyataannya kalah dengan Ekalaya yang  “berguru” dengan  patung saja mampu mengalahkan Arjuna yang di bimbing langsung oleh Durna.

Karena kunci dari semua itu ada pada kesungguhan, man jadda wajada. Ilmu apapun akan masuk dan  meresap ketika kita fokus, terus berlatih dan menekuninya.

Contoh dari konsep menabung energi itu seperti orang yang melakukan wirid, yang benar-benar dijaga kerutinannya. Misalnya menjelang pagi, atau setelah subuh, menjelang malam, tengah malam, setelah magrib  atau saat-saat yang dianggap mustajab untuk berdoa, atau sesuai yang ditentukan guru.

Masruri, penulis buku, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan Cluwak Pati