Ilustrasi. Reka: Sb.id

SELAIN adanya respon lahirnya tulisan bernuansa mistis yang lebih mencerdaskan, ada banyak hal yang hilang dari saya dan para pembaca. Hal yang dimaksud itu  keyakinan yang dulu ada, secara bertahap mulai menyusut akibat pola pikir yang mulai berubah, dari “otak percaya” ke “analisis.”

Analisis ilmiah justru menjadi penghambat seseorang memiliki kekuatan supranatural. Dulu saya biasa bermain debus atau atraksi ilmu kebal dengan bermodal laku tirakat dan keyakinan total. Ketika keyakinan itu mulai goyah karena ada peran logika,  saat show saya pernah ke dokter untuk dijahit.

Ketika mulai bermain dan diawali pemikiran logis, mendorong hati menganalisis, muncul pikiran, “Eh, ini kulit tipis, golok itu tajam, ngeri juga ya,” Maka apa yang dipersepsikan dalam pikiran itu benar terjadi dan robeklah kulit saya. Padahal, dulu saya pernah mengalami suatu masa ketika logika di-“istirahatkan.”

Dan saking keras tusukan atau sabetan golok itu berbenturan dengan tubuh, justru terasa asyik-asyik saja. Dan analisis saya tentang mistik tradisional dominan dikuasai orang yang berpikir tradisional, yang menerima tanpa proses analisis.

Dan pada umumnya, yang seperti itu lebih dimiliki orang-orang pedesaan atau pedalaman. Mereka adalah tipe pribadi  yang mengikuti konsep belajar ala Al-Ghozali, dengan prinsip diam, mendengarkan, menjalankan, dan mengembangkan.

Baca juga Kebal Tembakan Peluru dan Keajaiban “Susuk Palsu”-I

Orang dengan latar belakang pendidikan eksakta lebih cocok menjapi sarjana yang bertugas membenarkan ucapan pertapa sebagaimana yang telah dikisahkan sebelumnya. Namun, sebenarnya, dia sendiri tidak memiliki prestasi maksimal di bidang ilmu supanatural.

Sementara itu, orang dengan pola pikir “tradisional” yang memiliki rasa percaya itu lebih memiliki kans menjadi petapa yang mampu berjalan di atas air. Kisah sarjana dan petapa itu mengingatkan kisah yang saya abadikan dalam buku anekdot metafisika “Serial Kastubi.”

Anekdot itu mengisahkan orang dari golongan awam ilmu agama yang menemukan kitab tua dalam gua yang setelah dibuka-buka halamannya, kemudian, dia mendapati doa yang sedang dicari-cari, yaitu doa untuk kesaktian.

Di buku itu tertulis “Doa untuk keket,” yang dalam bahasa Surabaya, keket itu  berkelahi. Saking mantapnya, doa itu dibacanya sebagai doa atau wirid rutin dan memang benar menyebabkan santri itu kaget ketika diberi catatan doa yang dikondangkan sebagai doa untuk keket (berkelahi).

Ternyata, doa itu doa untuk kekah (akikah-prosesi potong kambing untuk menyambut lahirnya jabang bayi dalam agama Islam) dirinya sakti. Setiap berkelahi, dia selalu menang. Dan mereka yang berguru kepadanya, memiliki kesaktian.

Ketika suatu saat ada santri yang mengajinya tamat -yang ahli baca tulis Arab dengan benar-berguru ke padepokan itu, terjadi tragedi. Santri itu kaget ketika diberi catatan doa yang dianggap sebagai doa untuk keket (berkelahi).

Ternyata, itu doa untuk kekah, (prosesi potong kambing untuk menyambut lahirnya bayi dalam agama Islam). Persoalan menjadi jelas, ternyata sumber kesaktian itu berasal dari keterbatasan yang diyakini akibat tulisan huruf Arab antara keket dengan kekah ada kesamaan yang dibaca oleh jebolan kelas III Madrasah.

Dan karena dia meyakini lalu mengamalkan dengan yakin, menyebabkan kesaktian. Metafisika berkembang bukan karena fatktor text book semata. Inilah yang membedakan antara ilmu dengan ngelmu. Jika ilmu perlu adanya panduan dari literatur yang baku, ngelmu tidaklah demikian.

Dasar yang digunakan adalah persangkaan hati, salah satunya bersumber dari hadis tentang “Aku (Tuhan) menurutkan persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku selalu (membantunya) selama dia mengingat Aku,” (HR. Muslim & Hakim).

Suatu saat, seseorang datang ingin berguru kepada Abu Said Khair, tokoh sufi yang terkenal karena karomahnya. Rumah guru sufi itu berada di tengah padang pasir. Ketika orang itu tiba, Abul Khair sedang memimpin majelis untuk mendengarkan doa para pengikutnya.

Waktu itu, Abul Khair sedang membaca Al-Fatihah, pada ayat : Ghairil maghdhubi alaihim, walaz zalim. Orang Arab itu berpikir, Bagaimana aku harus berguru kepada orang yang bacaan Alqurannya kurang fasih. Orang itu lalu bergegas pergi, mengurungkan niat belajar kepada Abdul Khair.

Saat melangkahkan kakinya, dia dihadang seekor singa padang pasir. Lelaki itu berusaha mundur, namun di belakangnya ada seekor singa lain menghalangi. Lelaki itu menjerit karena ketakutan. Mendengar teriakan, Abul Khair turun dan  meninggalkan majelisnya.

Dia menatap kedua ekor singa dan berkata: “Bukankah sudah saya katakan jangan mengganggu para tamu-tamu saya!” Kedua singa itu tiba-tiba bersimpuh di hadapan Abul Khair lalu dengan lembut mengelus kedua telinga singa itu dan menyuruhnya pergi. Lelaki itu tercengang. “Bagaimana engkau mampu menaklukkan singa-singa liar itu?”

Abul Khair menjawab: “Karena saya sibuk mengurusi hati, sehingga Tuhan menaklukkan seluruh alam untuk saya. Dan kamu sibuk memperhatikan yang lahiriah, maka kamu takut kepada seluruh alam semesta.”

Yang diutamakan kalangan metafisika adalah adalah atau sangkaan hati (keyakinan) dan selalu ingat kepada-Nya. Hal itu menyebabkan ingatan juga dari-Nya sehingga manusia diberi kesempatan “manunggal kehendak” seperti yang  dijanjikan Tuhan dalam hadis Thabrani.

“Hamba-Ku yang selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah, sehingga Aku cinta kepadanya, maka Aku-lah pendengarannya, yang dengannya dia mendengar, penglihatannya, yang dengannya dia melihat, lidahnya, yang dengannya dia berbicara dan hatinya, yang dengannya dia berpikir. Maka, apabila dia berdoa, Aku terima, bila dia meminta, Aku beri dan bila dia minta tolong Aku tolong, dan ibadah yang sangat Aku senangi dilakukan oleh hamba-Ku ialah yang ikhlas untuk-Ku.”

Selesai