Ilustrasi. Reka: Sb.id

KALI pertama saya mengenal jimat, pada saat saya duduk di kelas V Madrasah. Saat itu, saya bertemu paman. Dia menunjukkan kantong kecil lusuh warna putih. Di dalam kantong itu, disebutkan ada jimat peninggalan almarhum simbah yang menurut cerita, simbah itu sakti.

Tersugesti nama simbah yang dulu (katanya) tidak mempan peluru Belanda, saya merasa gagah saat ke sekolah karena membawa kantong berisi jimat itu. Sesampai di sekolah, jimat itu saya pamerkan teman-teman. Untuk membuktikan keampuhan jimat itu, saya mencari masalah.

Beberapa teman satu kelas saya pukul dan tidak ada yang berani membalas. Setelah tiga hari menjadi “jagoan” kelas, keampuhan jimat itu mulai saya pertanyakan ketika ada kakak kelas yang berani memukul kepala saya dengan pukulan telak untuk menguji keampuhan jimat itu.

Saat dipukul, sebenarnya saya merasa hampir terjatuh. Namun, karena sudah telanjur diketahui teman-teman kalau saya membawa jimat, saya pun bertahan untuk tetap tegar. Padahal, saat dipukul itu, mata saya merasa berkunang-kunang, namun saya tetap bertahan untuk berdiri dan tersenyum.

Dua hari kemudian, “kesaktian” jimat itu  luntur. Karena penasaran, kantong jimat itu saya buka, dan ternyata yang ada dalam  kantong itu buah pinang (jambe). Saya kecewa karena  ternyata Paman mengelabui saya.

Tiga tahun kemudian, kekonyolan paman itu mengilhami saya untuk melakukan hal  serupa. Sejak duduk di bangku SMP, saya sudah rajin tirakat sehingga teman-teman sekolah mengenal saya punya ilmu kesaktian. Ingat balada buang pinang, itu saya iseng dengan teman sepermainan.

Keisengan yang saya lakukan, saat saya malas menimba, (mengisi bak kamar mandi), saya memanggil teman itu untuk mengisi bak kamar mandi dan untuk itu dia saya janjikan suatu saat saya beri jimat ampuh. Teman yang sudah beberapa hari mengisi bak kamar mandi itu saya buatkan jimat.

Hanya berbekal sisa potongan kain putih dari penjahit sebelah rumah, kain itu saya tulis huruf-huruf Arab. Bentuknya mendekati rajah. Ada gambar bintang  huruf-huruf hijaiyah yang saya itulis putus-putus seperti dalam  buku mujarobat.

Pernah juga ada tetangga yang penakut, dan setiap tanggal gajian tidak berani naik kendaraan umum, takut dicopet, saya beri potongan baja hasil nemu di jalan. Ajaibnya, ketika teman itu yakin dengan azimat itu, dia yang semula penakut menjadi pemberani.

Susuk Pelet.

Di sebuah desa kecil, di pinggiran hutan jati 4 KM dari kediaman saya, ada seseorang yang dikenal ahli pasang susuk. Dia biasa dipanggil Mbah Badi. Menurut cerita orang-orang, beberapa pemain sepak bola pernah  memanfaatkan jasanya. Tertarik untuk mengamati, suatu hari saya mendatangi kediamannya.