Kebetulan, saat itu, saya kedatangan teman yang jawara asal luar Jawa yang ingin memasang susuk pelet agar dia disenangi teman-teman wanita satu kantornya. Untuk kepentingan itu, jawara sudah menyiapkan seekor samber lilen (jenis serangga bersayap) yang mengkilat biru keemasan.
Di kalangan orang yang meyakini, serangga ini jika diisi dengan mantra pelet, lalu dimasukkan dalam tubuh, maka memancarkan aura biru keemasan sehingga memiliki pesona luar biasa. Saat kami berdua mendatangi kediaman orang yang dikenal ahli susuk itu, di ruang praktiknya, sudah ada pasien yang juga memasang susuk.
Sambil menunggu giliran, saya pilih duduk di kursi tamu agar saya bisa melihat dengan jelas cara tuan rumah memasang susuk dan saya memperhatikan gerak-geriknya. Sebagai orang yang akrab dengan teknik sulap, insting saya mengatakan, yang barusan saya saksikan itu sulap.
Alurnya, diawali dengan pura-pura mengoleskan minyak, selanjutnya dia menarik tangan mendekati tubuhnya, lalu menjatuhkan susuk ke lantai tanah. Setelah itu Mbah Badi meletakkan tangannya ke bagian tubuh yang akan “dipasang” susuk.
Gerakan diawali dengan mengoleskan minyak, kemudian menarik tangan pasien mendekati tubuhnya, lalu menjatuhkan susuk ke lantai (tanah).Setelah susuk terjatuh, Mbah Badi meletakkan tangannya ke bagian tubuh yang dikehendaki klien untuk dipasang susuk.
Karena sudah telanjur membawa tamu yang jauh-jauh, untuk sementara saya memilih diam. Dan ketika tiba giliran Jawara itu dipasangi susuk, saya duduk di kursi tamu sambil memperhatikan gerak tangan Mbah Badi. Dan dia menggunakan teknik yang sama.
Ketika pemasangan selesai, Jawara keluar dari ruang praktik. Saya yang sebenarnya tidak ada kepentingan dengan Mbah Badi minta waktu berkonsultasi dengan tuan rumah. Target saya “memancing” Mbah Badi keluar dari ruangan. Saya pura -pura mencari info benda magis yang diminati orang asing.
Pancingan saya berhasil. Mbah Badi keluar ruangan menuju ruang tengah, dan kesempatan itu saya gunakan untuk memperhatikan tanah di belakang meja duduknya. Ternyata, banyak susuk emas berserakan, termasuk serpihan sayap-sayap samber lilen yang tampak jelas karena bentuknya mengilat.
Saya berhasil mengabadikan “barang bukti” itu dengan kamera. Sementara Jawara, itu begitu keluar dari rumah Mbah Badi, merasa sangat yakin. Dia berkata, “Hebat, Kang, baru kali ini saya menemukan orang pintar yang bisa memasukkan susuk tanpa menimbulkan rasa sakit.”
Dalam hati, saya tertawa karena patahan sayap-sayap samber lilen yang diyakini sudah masuk tubuh itu ternyata berserakan di kolong meja Mbah Badi. Saya lalu pilih diam daripada mengecewakan tamu yang sudah telanjur bersemangat ingin memiliki karisma.
Seminggu kemudian, teman itu menghubungi saya. Apa yang disampaikan membuat saya kaget. Dengan semangatnya, dia mengatakan, “Mas, susuk Mbah Badi benar-benar hebat. Banyak cewek memperhatikan saya.” Mendengar itu saya berpikir, begitu besar pengaruh kekuatan pikiran terhadap diri. Dia yang semula kurang percaya diri saat menghadapi lawan jenisnya, berubah menjadi primadona.
Percaya atau Menganalisis Dulu?
Dalam perkembangan zaman, dunia metafisika melahirkan dua profesi, yaitu pelaku metafisika dan pengamat metafisika. Pelaku metafisika adalah orang yang menerima sebuah konsep “tempo dulu” tanpa melalui proses analisis. Sementara itu, pengamat metafisika adalah orang yang bisa menerima metafisika melalui penelitian-penelitian terlebih dahulu.
Namun, memang mesti diakui bahwa standar penelitian yang dimaksud itu tidak sedetail penelitian ilmu yang bersifat fisika. Saya termasuk orang yang mengalami sebuah “kecelakaan metafisis.” Hal itu berawal ketika pada 1993-1996, sebuah harian di Jawa Tengah meminta saya untuk menulis rubrik.
Rubrik itu mencoba menyajikan metafisika yang lebih mengedepankan pendekatan yang lebih rasional dan sesekali menggoda para pelaku metafisika melalui guyon-guyonan segar. Seorang penulis dituntut berpikir dengan lebih mengedepankan otak kiri yang lebih mengedepankan analisis.
Bersambung