Sampai sekarang saya kira serikat pekerja ini masih harus berjuang agar kasus-kasus rotasi, rolling, promosi dan degradasi, PHK, pensiun diri, yang dinilai merugikan pekerja, dapat dilakukan untuk menguntungkan kedua belah pihak. Perusahaan hampir selalu menang. Atau kalaupun kalah, putusan mediasi tripartit, banyak yang tidak dijalankan.
Dewan Pers juga berkali-kali menjadi tempat mengadu kasus hubungan industrial perusahaan pers dan karyawan walau sebenarnya itu lebih menjadi urusan dinas tenaga kerja. Tetapi putusannya tidaklah mengikat seperti kalau ditangani dinas tenaga kerja, jadi lemah dalam implementasinya. Paling jauh ya mendampingi agar penyelesaian dilakukan tanpa merugikan pekerja pers, terlebih apabila kasusnya terjadi karena wartawan mengalami masalah karena dia bekerja menjaga indepensi profesinya.
Saat ini sudah terjadi perubahan lanskap dan proses kerja wartawan, sehingga kemandirian dan profesionalisme wartawan tercemar. Anda yakin wartawan masih teguh pada independensinya ketika melakukan tugas jurnalistiknya? Ataukah kebanyakan sudah bekerja benar-benar tunduk pada sifat industri dari apa yang disebut industri pers?
Di dalam mata uji perencanaan liputan di Uji Kompetensi Wartawan, usulan tema dan topik liputan merupakan inisiatif wartawan. Dia juga harus menyodorkan nama narasumber, sudut pandang pemberitaan, bahkan daftar pertanyaan topik yang akan dikembangkannya menjadi berita. Editor (dan juga penguji) akan menguji aktualitas dan relevansi topik itu dengan visi misi medianya, tentu juga dengan saran agar nanti beritanya layak “jual”.
Bila dianggap memadai maka peserta UKW di mata uji ini akan lulus. Inisiatif atau usulan ini lahir dari kemampuan wartawan dalam menyerap berbagai persoalan yang ada di bidang liputannya sehari-hari. Dan pemahamannya untuk menjadikannya sebuah berita yang dapat menjadi solusi, jalan keluar, atau meramaikan agar masalah itu nanti dibicarakan oleh masyarakat. Istilah sekarang mungkin, menjadikannya topik hangat atau viral.
Banyak wartawan yang terpaku pada rutinitas, hanya memberitakan apa yang tersedia di depannya. Entah itu peristiwa, acara, jumpa pers, atau lebih parah rilis yang disediakan para pihak di tempat liputannya. Dia lupa unsur “why” yang kalau terus digali, dapat menghasilkan materi liputan menarik.
Inisiatif ini wujud independensi karena lahir dari gagasan si wartawan, dari “pertemuannya” dengan masalah yang ada di sekelilingnya. Tanpa inisiatif apakah wartawan itu profesional? Bila hanya menjalankan penugasan, arahan, dari editornya, bahkan tidak dapat atau berani untuk memberi catatan tambahan atau usulan, sulit menyebutkan profesional.
Saya kira kondisi ini sekarang terjadi di kebanyakan media massa. Saya mengamati peserta UKW, jarang sekali yang antusias menyampaikan gagasan topik liputan. Ketika diberi contoh, barulah mereka menanggapi. Semuanya datar-datar saja, seperti tidak ada persoalan. Padahal secara teoritis, apa saja bisa digarap menjadi berita menarik.