Kedua, gaya hidup konsumtif dimana sifat serakah ditambah gaya hidup yang konsumtif menjadi faktor pendorong internal korupsi. Gaya hidup konsumtif, bisa merambah ke keluarga, anak dan istri, misalnya membeli barang-barang mewah dan mahal atau mengikuti tren kehidupan perkotaan yang serba glamor.
Ditambah jaman digital diupload di media sosial. Korupsi bisa terjadi jika seseorang melakukan gaya hidup konsumtif namun tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai.
Ketiga, moral yang lemah, seseorang dengan moral yang lemah mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Aspek lemah moral misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, atau rasa malu melakukan tindakan korupsi. Jika moral seseorang lemah, maka godaan korupsi yang datang akan sulit ditepis. Godaan korupsi bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan untuk melakukannya.
Faktor Penyebab Eksternal.
Pertama, aspek sosial, kehidupan sosial seseorang berpengaruh dalam mendorong terjadinya korupsi, terutama keluarga. Bukannya mengingatkan atau memberi hukuman, keluarga malah justru mendukung seseorang korupsi untuk memenuhi keserakahan mereka.
Justru peranan keluarga sangat strategis. Tapi peranannya justru pamer. ‘Flexing’, istilah ini memiliki berbagai arti. Namun, dalam konteks sosial dan budaya di media sosial, ‘flexing’ sebenarnya mengacu pada perilaku seseorang yang memamerkan atau menunjukkan kekayaan atau kemewahan yang dimilikinya.
Timbul persoalan ketika profil pendapatan suami tidak sesuai untuk memenuhi hasrat ‘flexing’. Aspek sosial lainnya adalah nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung korupsi. Misalnya, masyarakat hanya menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya atau terbiasa memberikan gratifikasi kepada pejabat.
Kedua, aspek politik, dimana ada keyakinan bahwa dengan politik mampu untuk memperoleh keuntungan yang besar menjadi faktor eksternal penyebab korupsi. Ada konsep “meraih kekuasaan butuh uang, dengan kekuasaan gampang mencari uang”.
Tujuan politik untuk memperkaya diri pada akhirnya menciptakan money politics. Dengan money politics, seseorang bisa memenangkan kontestasi dengan membeli suara atau menyogok para pemilih atau anggota-anggota partai politiknya. Ini semua membutuhkan uang yang banyak.
Mengingatkan kepada tersangka Bupati Kepulauan Meranti yang mengumpulkan uang untuk modal Pilkada Gubernur Riau tahun 2024. Cara yang paling mudah, cepat gampang dan instan yaitu menggunakan kekuasaan dan wewenang sebagai Bupati.
Bahkan konon sampai menjaminkan Kantor Bupati kepada Bank Riau. Ini sedang didalami oleh KPK. Pejabat yang berkuasa dengan politik uang hanya ingin mendapatkan harta, menggerus kewajiban utamanya, yaitu mengabdi kepada rakyat. Melalui perhitungan untung-rugi, pemimpin hasil money politics tidak akan peduli nasib rakyat yang memilihnya, yang terpenting baginya adalah bagaimana ongkos politiknya bisa kembali dan berlipat ganda.
Ketiga, aspek hukum, dimana hukum sebagai faktor penyebab korupsi bisa dilihat dari dua sisi. Satu sisi perundang-undangan dan sisi lain lemahnya penegakan hukum. Koruptor akan mencari celah di perundang-undangan untuk bisa melakukan aksinya.
Selain itu, penegakan hukum yang tidak bisa menimbulkan efek jera akan membuat koruptor semakin berani dan korupsi terus terjadi. Pantas kalau UU Perampasan Aset kembali mengemuka, dengan tokoh, Mahfud MD.