blank
Ketum PSSI, Erick Thohir, memeluk Hokky Caraka, sesaat sebelum menemui FIFA, terkait dengan pelaksanaan Piala Dunia U20. Foto: pssi

blankOleh: Amir Machmud NS

//sesiap apa kita menerima sepak bola/ hanya sebagai sepak bola?/ sesiap apa pula menggumuli politik/ tanpa menikam sepak bola?//
(Sajak “Kita dan Piala Dunia”, 2023)

LUAP kekecewaan Hokky Caraka, Marselino Ferdinand, dan Arkhan Fikri adalah jerit ketidakberdayaan anak-anak muda menghadapi imbas energi politik.

Betapa pilu menyimak InstaStory tiga penggawa tim nasional U20 itu.

Ungkap Hoky, “Kami kecewa tentang gagalnya Piala Dunia U-20, jangan kalian bilang ‘Halah pildun doang hasil give away’. Walaupun hasil give away atau apa pun yang kalian sebut, kita juga latihan mati-matian, sehari 3-4 kali latihan…”

“Gimana capeknya gimana beratnya kalian belum pernah ngerasain. Sekarang sudah seperti ini… Siapa yang mau disalahkan? Bangun! Kalian hanya mimpi,” tulisnya.

Marselino Ferdinand menuliskan ekspresi yang sama. Kata pemain KMSK Deinze Belgia itu, “Kami kehilangan mimpi besar kami”. “Ini bukan soal saya, ini soal mimpi teman-teman saya,” lanjutnya. “Coba rasain latihan 1 hari 3 kali pak…”

Arkhan Fikri lebih terkesan patah hati, “Terkubur sudah mimpi besar kami. Orang tua saya tidak bisa lagi menceritakan ke teman-temannya kalau punya anak yang sangat membanggakan karena bisa main di Piala Dunia,” cetusnya.

Dan, bukankah sejujurnya seperti itulah perasaan yang melilit bangsa ini? Kamis (30/3) dinihari WIB, ketika otoritas tertinggi sepak bola dunia FIFA mengumumkan pencabutan hak tuan rumah Piala Dunia U20 dari Indonesia, berlalulah mimpi indah itu…

Politikkah yang tak kenal iba kepada pecinta sepak bola? Politikkah yang bagai tak punya rasa kepada perjuangan dan kerja keras anak-anak bangsa untuk meraih impiannya. Politik, seperti kata Harold Lasswell, hanya tentang siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana.

Begitu cepat Indonesia kehilangan hak menjadi tuan rumah event akbar itu. Begitu cepat dinamika politik bergulir dengan segala nuansanya. Empat tahun intensif menyiapkan infrastruktur dan sumberdaya manusia, terbanting oleh kenyataan betapa energi politik memancar lebih kuat. FIFA, seperti keterangan Ketua Umum PSSI Erick Thohir, melihat ada intervensi.

Perspektif Politik
Jujur saja, dalam seminggu kemarin perasaan saya seperti diaduk oleh kegelisahan. Ada sisi-sisi buram yang sulit terjelaskan. Sebegitu berisikokah menjadi tuan rumah Piala Dunia sepak bola? Seperti apa, dan siapa yang menghadapi risiko? Sebaliknya, jika penyelenggaraan event akbar itu menguntungkan, siapa yang mendapatkan?

Risiko dan keuntungan itu menyertakan kalkulasi tentang negara ini: Israel. Bagaimana mempertemukan perspektif itu, yang dari dinamika wacana menjadi seakan-akan sedemikian “gawat”?

Rasanya tak pernah tergambarkan dari pernyataan-pernyataan PSSI dan pemerintah, ketika mengikuti bidding sebagai tuan rumah Piala Dunia U20, apakah sama sekali tak terbayangkan mengenai “faktor Israel”? Termasuk ketika para kepala daerah menandatangani host agreement, lalu menyiapkan renovasi stadion-stadion?

Kalaupun terpikirkan, apakah terlintas pikiran timnas Israel tidak akan lolos ke putaran final, sehingga tak terbayangkan muncul keribetan seperti sekarang?

Atau, konsiderans pencalonan pada saat itu lebih diliputi oleh semangat olahraga ketimbang dominasi pikiran tentang politik dengan segala implikasinya? Tak terlampau jauh terpikirkankah segi-segi sensitif yang mengikuti kehadiran Israel?

Perspektif politik itu mengait pada faktor konsistensi konstitusi dan faktor sejarah, ketika pada 1962 Bung Karno memilih menolak Israel dan ber-mufarrokoh dari Komite Olimpiade Internasional (KOI) untuk mendirikan Games of the New Emerging Forces (Ganefo).

Ganefo menegaskan politik tidak bisa dipisahkan dari olahraga, melawan prinsip KOI yang memisahkan antara dua “dunia” itu.

KOI mengecam Indonesia yang tidak mengundang Israel dan Taiwan ke Asian Games Jakarta, karena bersimpati kepada negara-negara Arab — khususnya Palestina — dan Tiongkok. Dikenai sanksi penangguhan keanggotaan di KOI, Indonesia pun tidak diizinkan mengikuti Olimpiade Tokyo 1964.

Sikap Bung Karno pada 1962 dijadikan pegangan, terkait dengan penegasan Pembukaan UUD 1945, “… kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan … dst”. Haluan politik ini terimplementasi sebagai bentuk dukungan kepada Palestina, dan tidak membenarkan agresi Israel.

Maka ketika Gubernur Bali Wayan Koster, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menolak kehadiran Israel di Piala Dunia U20, amanat konstitusi dan sikap Bung Karno 1962 itulah yang dijadikan pegangan.

Masalahnya, FIFA sebagai otoritas tertinggi persepakbolaan dunia punya “kedaulatan” yang tak bercampur dengan politik. Pemisahan ini tentu ideal, dari sisi penjabaran nilai-nilai sportmanship: atmosfer olahraga steril dari berbagai intervensi kepentingan.

Standar ganda FIFA pun dipertanyakan. FIFA tegas mencabut kepesertaan Yugoslavia di Euro 1992 akibat Perang Balkan dan pembantaian etnis Bosnia. Lalu Rusia dikucilkan dari pergaulan sepak bola internasional karena invasi ke Ukraina. Mengapa tidak bersikap sama terhadap Israel yang mengagresi Palestina?

Kalkulasi di Indonesia
Polemik di Indonesia menggambarkan risiko dan keuntungan dalam perspektif politis.

Seandainya Piala Dunia U20 tetap digelar dan Israel diterima untuk bertanding, akan munculkah tudingan pemerintah sebagai rezim yang melanggar konstitusi dalam sikap politik luar negeri?

Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al-Shun memberi “isyarat penting”, bahwa FIFA memiliki aturan yang harus ditaati anggotanya. Jadi urusan olahraga jangan dicampuradukkan dengan urusan politik.

Sikap Dubes Zuhair mestinya bisa dijadikan pegangan, bahwa kita boleh berlawanan dengan Israel, tetapi tidak dalam urusan olahraga. Tafsirnya, Palestina tetap mengharapkan dukungan di luar kerumitan Piala Dunia U20.

Hal itu senada dengan sikap Ketua PBNU Yahya Staquf. Kehadiran Israel, menurutnya, belum tentu merugikan Palestina. Yang penting bagaimana memperkuat posisi Indonesia dalam platform internasional dan multilateral.

Masalahnya, sikap moderat Dubes Zuhair dan Gus Yahya belum tentu diterima oleh para penolak Israel. Kelompok-kelompok penolak diperkirakan bakal mempersoalkan sikap pemerintah. Ketika dikaitkan ke kontestasi politik 2024, isu Israel bisa menjadi amunisi dalam perspektif risiko dan keuntungan.

Risiko, tentu bagi pemerintah dan partai berkuasa. Sejauh ini, masalah Israel sulit dihindarkan dari isu agama, sehingga dikhawatirkan potensi pemilih akan mempertimbangkan sikap pemerintah dan calon presidennya. Realitas ini mendorong kalkulasi potensi dukungan apabila berpihak kepada sepak bola dan Israel ketimbang sensitivitas isu “agama”. Akan tetapi bisa pula berefek sebaliknya: ketika hak tuan rumah dicabut oleh FIFA, kemarahan para pecinta bola berpotensi mempengaruhi prospek suara pada 2024.

Dari sisi oposisi, apabila Israel diterima bertanding, terbuka keuntungan untuk mengembangkan opini, yakni stigma capres yang tidak mematuhi konstitusi, memihak rezim Zionis, dan mengingkari torehan sejarah Bung Karno. Juga bisa dianggap mengabaikan Palestina sebagai negara yang pertama kali menyampaikan dukungan kepada kemerdekaan Indonesia. Betapa rumit…

Merusak Mimpi
Sejuta rasa telah diungkapkan oleh Hokky Cakara, striker timnas Garuda. Juga dua gelandang Marselino dan Arkhan Firki. Ya, tampil di Piala Dunia adalah impian bagi semua pemain sepak bola.

Sebelum ini, tim angkatan Bagus Kahfi, Bagas Kaffa, dan Elkan Baggot gagal bermain di ajang tertinggi untuk pemain di bawah usia 20 itu. Seharusnya event ini digelar pada 2021, namun lantaran pandemi Covid-19, diundur hingga tahun ini. Hampir semua pemain binaan Fakhri Husaini itu, pada 2023 telah melewati batas usia. Padahal banyak yang menyebut, angkatan Bagus Kahfi adalah tim dengan materi berkualitas menjanjikan.

Dan, kini Hokky Caraka, Muhammad Ferrari, Robbi Darwis, Arkhan Kaka dkk yang sudah intensif disiapkan oleh coach Shin Tae-yong juga “kehilangan panggung” karena pemicu yang berbeda.

Kalau bukan karena menjadi tuan rumah, bakal butuh perjuangan berat dan panjang untuk bisa lolos ke putaran final. Ibarat durian runtuh, kesempatan itu tersia-siakan ketika akhirnya FIFA mencabut hak sebagai tuan rumah. Padahal, seharusnya ini akan menjadi sejarah kedua Indonesia tampil di putaran final setelah 1979 di Tokyo. Subangkit dkk lolos, karena sejumlah negara menolak hadir.

Kini, PSSI menanti kemungkinan sanksi lain FIFA, yang belum terperkirakan seperti apa. Pengucilan sepak bola Indonesia-kah, atau apa?

Betapa pahit realitas ini. Politik luar negeri RI, perspektif kontestasi politik nasional, tarik-menarik kepentingan 2024, dan impian anak-anak bangsa teraduk-aduk oleh pandangan dan sikap tentang Israel.

Betapa kalkulasi, kekhawatiran, mimpi, dan target, bagai bergumul resah di pekat kabut. Energi politik memancar lebih kuat ketimbang cercah keindahan sepak bola…

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah