Untuk dapat dirukyah, masih merujuk pada kalender miliknya, ketinggian hilal minimal tiga derajat, dengan jarak sudut antara matahari dan bulan sebesar enam koma empat derajat. Oleh karena hilal tidak mungkin untuk dilihat, maka Ramadan harus disempurnakan (diistikmalkan) menjadi tiga puluh hari.

Satu bapak lagi yang sepertinya pensiunan pegawai pemerintah turut memberikan opininya. Nuansa kepatuhan birokratis masih melekat dari uraian pendapatnya.

Menurutnya, secara perhitungan (hisab) tidak ada perdebatan dan perselisihan. Hasil yang dipaparkan oleh kalender versi bapak berpeci hitam dan bapak berkopiah putih menunjukkan angka yang hampir sama persis.

Yang sekali lagi menjadi pro dan kontra, bapak berpeci hitam mencukupkan pada posisi hilal yang sudah di atas ufuk, sementara bapak berkopiah putih mengharuskan adanya pengamatan di lapangan. Padahal ketinggian hilal untuk akhir Ramadan tahun ini tidak memungkinkan untuk dilihat, atau belum memenuhi kriteria.

Tak ketinggalan bapak pensiunan ini memberikan informasi tambahan bahwa masih ada pemerintah yang memberikan ketetapan. Melalui Kementerian Agama, Pemerintah melaksanakan sidang isbat untuk menetapkan awal Syawal 1444 H.

Dirinya sebagai warga negara yang baik, akan mematuhi apapun keputusan dari Pemerintah. Bapak pensiunan yakin bahwa yang diputuskan Pemerintah sudah melalui kajian dan musyawarah panjang dengan melibatkan berbagai pihak.

Merujuk pada portal kemenag.go.id, sejak tahun 2022 Kementerian Agama telah memutuskan untuk menggunakan kriteria baru dalam penetapan awal bulan kamariah.

Kriteria baru tersebut merujuk pada kriteria baru hasil kesepekatan Menteri Perwakilan dari Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia, dan Singapura (MABIMS) pada tahun 2021.

Kriteria baru yang dimaksud, bahwa untuk penetapan awal bulan kamariah bisa ditetapkan manakala posisi hilal pada ketinggian minimal tiga derajat dan elongasi enam koma empat derajat.

Kriteria baru ini yang sepertinya dimaksudkan oleh bapak berkopiah putih. Sepertinya pula, kriteria baru MABIMS di atas sudah diadopsi oleh organisasi yang menerbitkan kalender dan dipakai di rumah bapak berkopiah putih.

Bapak ini pun kembali menyatakan dengan tegas, oleh karena tidak mungkin melihat hilal di ketinggian angka satu derajat, maka seharusnya Ramadan tahun ini berumur tiga puluh hari.

Tidak mau kalah, bapak berpeci hitam kembali menegaskan pendapatnya. Sudah jelas menurut kalkulasi kalau posisi hilal sudah di atas ufuk pada 29 Ramadan 1444 H. Rukyah tidak harus dengan melihat langsung di lapangan (bil fi’li).

Rukyah juga bisa dilaksanakan dengan ilmu pengetahuan (bil ‘ilmi). Dengan ilmu pengetahuan, manusia sudah bisa mengetahui dan memastikan keberadaan hilal tersebut, dan bisa dipakai sebagai acuan.

Imam masjid yang sedari tadi memperhatikan dengan seksama pendapat jamaahnya, akhirnya ikut angkat bicara. Dia tidak membenarkan salah satu dari beberapa pendapat yang sudah mengemuka.

Meski dilihat dari back ground keilmuan dan aktifitas kesehariannya, dia pasti mumpuni untuk memberikan justifikasi terhadap salah satu pendapat yang ada. Hanya saja, sepertinya dia ingin menjaga kedamaian dan kondusifitas seluruh jamaah di masjid.

Sepengetahuan imam masjid, dalam penentuan awal bulan kamariah, pendapat yang berpegangan pada hisab saja, dan (atau) rukyah bil ‘ilmi memiliki landasan dalil Alquran dan Hadis Nabi. Pun pendapat yang mengharuskan rukyah bil fi’li dalam menentukan awal bulan kamariah, juga merujuk pada Alquran dan Hadis Nabi.

Termasuk apa yang dilakukan pemerintah dengan melakukan sidang isbat dan memberikan ketetapan ikhwal awal bulan kamariah, juga tidak lepas dari dasar dalil yang diperoleh dari Alquran dan Hadis Nabi.

Dalam lapangan usul fiqh atau metodologi perumusan fiqh, ada wilayah syari’ah yang tidak bisa diubah-ubah. Juga ada wilayah fiqh yang memungkinkan dilaksanakan ijtihad, dengan rujukan utama tetap pada Alquran dan Hadis Nabi. Dari berbagai bacaan dan narasi yang ada, penentuan awal bulan kamariah masuk kategori fiqh. Berbeda dengan ketentuan syariah kewajiban puasa Ramadan yang semuanya satu suara.

Oleh karena itu, sepanjang pelaksanaan ritual agama Islam dalam rupa fiqh sudah merujuk pada Alquran dan Hadis Nabi, maka sah-sah saja.

Dalam ruang fiqh dan beragama, terdapat kemantapan dan keyakinan yang tidak bisa dipaksakan satu sama lain. Berbeda dengan konteks berwarga negara, yang sebaiknya mengikuti apa yang diputuskan oleh pemerintah yang sah di negara yang berdaulat.

Ahmad Munif, Pengamat Kajian Ilmu Falak & Dosen UIN Walisongo Semarang