Gibran sempat dimasalahkan karena ada persyaratan minimal sudah tiga tahun menjadi kader partai. Publik paham betul bahwa Gibran memiliki kartu tanda anggota PDIP ketika dalam proses mencari rekomendasi. Diakui atau tidak, politik dinasti bisa mengebiri peran masyarakat dalam menentukan pemimpin. Apalagi ada signal dari petinggi partai PDIP bahwa DPP, khususnya Ketua Umum memiliki hak prerogratif yang wewenangnya mutlak.
Secara jujur publik juga paham bahwa jam terbang Gibran di dunia politik masih sangat rendah. Namun begitu regulasi tidak ada pasal yang melarang mereka menggunakan hak sebagai warga negara untuk ikut kontestasi di Pilkada.
Sebetulnya mereka berdua juga memiliki beban moral yang berat justru karena aroma politik dinasti sangat kental. Siapa yang tidak tahu kalau Gibran adalah anak Presiden. Maka ada ungkapan, menang tidak membanggakan, biasa-biasa saja, wajar, lumrah. Tapi kalau kalah menggangu reputasi orang tuanya.
Sinyalemen inilah yang menjkadi spekulasi publik bahwa ada campur tangan kekuasaan. Baik langsung maupun tidak langsung. Toh akhirnya Gibran menang mutlak.
Jalan berliku.
Perjalanan Gibran menggapai kursi Walikota Surakarta melewati jalan berliku. Namun begitu, jalan berliku dengan selamat sampai tujuan sudah tercapai. Berliku diawali dari DPC PDIP Surakarta, sesuai mekanisme dan kewenangan partai sudah memutuskan mengajukan pasangan Achmad Purnomo, waktu itu petahana Wakil Walikota, dan Teguh Prakosa anggota DPRD Surakarta, dua-duanya kader PDIP sebagai bakal calon Walikota dan Wakil Walikota.
Memang keputusan DPC PDIP Surakarta belum final, karena keputusan akhir ada pada DPP PDIP. Peluang Gibran masih terbuka, maka melakukan manuver politik, disini sudah nampak aroma politik dinasti. Bahkan menghadap Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, serta sudah mendaftar sebagai bakal calon Walikota Surakarta, lewat DPD PDIP Jawa Tengah.
Langkah Gibran tidak keliru karena mekanisme penjaringan di PDIP memungkinkan. Bisa mendaftar lewat DPC, DPD maupun DPP PDIP. Bisa kita bayangkan seandainya Gibran bukan putra Presiden.
Apakah langkah Gibran salah, keliru, tidak etis, mengebiri demokrasi atau merugikan publik? Sebetulnya penjelasan Jokowi sudah jelas. Artinya, jabatan walikota adalah bukan penunjukkan, melainkan kompetisi. “Ketika kompetisi, bisa menang dan bisa kalah, karena ini dipilih bukan ditunjuk”.
Banyak orang meragukan Gibran apa mampu berprestasi menjadi Walikota Solo. Kerja keras semenjak dilantik sampai saat ini berjalan dua tahun, tampaknya Gibran Rakabuming Raka, lahir di Solo, 1 Oktober 1987, berangkat sebagai seorang pengusaha muda, sejak Desember 2010, membuka usaha katering yang diberi nama Chilli Pari.
Sekaligus merupakan pendiri perusahaan kuliner martabak yang disebut Markobar. Berhasil membuktikan ke publik, terutama publik Solo atas kepemimpinannya.
Tidak selalu politik dinasti negative. Kembali pada orangnya serta latar belakang orang tuanya. Memang harus dibuktikan. Mutiara tetap Mutiara bukan karena sekedar dinasti.
Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si, Pengamat Kebijakan Publik.