blank
Pengamat Kebijakan Publik, Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si. Foto: Dok/SB

Dampak positif politik dinasti ?

Mari kita tengok kebelakang. Perjalanan Gibran menuju ke kursi Walikota Solo, cukup berliku. Betapa tidak. Gibran, sempat menyedot perhatian menjadi topik pembicaraan setelah secara resmi mendapat rekomendasi dari DPP PDIP untuk maju sebagai bakal calon Walikota Surakarta berpasangan dengan Teguh Prakosa sebagai Wakil Walikota Surakarta.

Kenapa menaik perhatian ? Pertama, berhasil menyisihkan Achmad Purnomo yang waktu itu masih menjabat Wakil Walikota Surakarta, dimana DPC PDIP Surakarta mencalonkan berdampingan dengan Teguh Prakosa sebagai wakilnya. Kenyataannya, akhirnya rekomendasi jatuh ke Gibran-Teguh.

Kedua, hangat dibicarakan karena kental sekali dengan istilah politik dinasti. Publik sudah paham betul bahwa Gibran putra sulung Presiden Jokowi. Politik dinasti menimbulkan polemik pro dan kontra, setuju dan tidak setuju.

Kelompok yang pro atau setuju dengan politik dinasti, bahwa pelarangan terhadap seseorang yang mempunyai hak untuk dipilih akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah kebetulan merupakan bagian dari dinasti politik tertentu, masuk kategori melanggar hak politik seseorang, sehingga bertentangan dengan asas demokrasi.

Pandangan ini diperkuat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menilai pelarangan dimaksud bertentangan dengan konstitusi, sehingga politik dinasti dihalalkan melalu putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015. Larangan keluarga tertentu untuk mencalonkan diri bertentangan dengan Pasal 28J Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Secara yuridis formal tidak ada regulasi yang melarang seseorang untuk menggunakan hak politiknya dikaitkan dengan keluarga atau dinasti. Berarti politik dinasti tidak melanggar aturan.
Sedangkan kelompok yang kontra atau tidak setuju dengan politik dinasti, menganggap bahwa politik dinasti mengebiri demokrasi. Menggerus demokrasi.

Apa alasan politik dinasti mengebiri dan menggerus demokrasi ? Mengebiri demokrasi karena praktik-praktik politik dinasti cenderung mempengaruhi proses yang mestinya demokratis, menjadi tidak demokratis, karena campur tangan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan, kekuatan, pengaruh dan infrastruktur politik.

Bungkusnya demokrasi tetapi isinya, tidak demokratis. Dulu, jaman kerajaan menentukan pemimpin berdasarkan pewarisan ditunjuk langsung, sekarang mencari kepala daerah lewat jalur politik prosedural. Anak atau keluarga para elite kekuasaan lewat institusi yang disiapkan, yaitu partai politik.

Patrimonialistik dibungkus dengan jalur prosedural. Walau dipilih secara langsung, peranan ke-dinasti-an tetap berjalan, walaupun dengan proses demokrasi. Bahkan memasuki era reformasi yang merubah memperoleh kekuasaan dengan demokrasi, pemilihan langsung, praktik politik dinasti benar-benar menggejala wakltu itu.

Sementara pihak beranggapan politik dinasti jelas bertentangan dengan budaya demokrasi yang sedang berproses di Indonesia dan akan melemahkan atau menggerus demokrasi. Kenapa ? Karena politik dinasti, cenderung mengabaikan kompetensi dan rekam jejak.