Kejadian atau gejala alam yang sedang melanda Ungaran seperti itu disebut udan suweni utawa udan sinemeni, dan istilah ini tidak berlaku untuk Ambarawa karena di sana sudah benar-benar turun hujan. Bisa saja pada kesempatan lain gejala alamnya berbeda, sebutlah bertukar: di Ambarawa udan suweni padahal di Ungaran deres udane.
Udah kethek
Seperti apa udan kethek? Sewaktu saya kecil dulu, -semoga sampai sekarang masih juga didendangkan-, jika di siang bolong tiba-tiba turun hujan, anak-anak berdendang udan kethek, macan dhedhe ……..udan kethek macan dhedhe …….. begitu kata-kata itu diulang-ulang jika hujannya masih turun sementara sinar matahari juga tetap kelihatan/bersinar.
(Catatan: bagi orang yang sudah sedikit dewasa, udan kethek macan dhedhe tadi, dilanjutkan sebagai parikan, sebutlah sebagai pantun: Udan kethek macan dhedhe; wong wis tuwek, golek senenge dhewe. Sebuah pantun sindiran bagi orang tua yang hanya berburu untuk kesenangan dirinya sendiri).
Baca juga Alun
Udan kethek, seperti telah disebutkan tadi, adalah kejadian alam benar-benar telah turun hujan, namun matahari masih bersinar. Biasanya, hujan seperti itu tidak berlangsung lama, sebentar lagi reda atau hilang dan matahari terus tampak bersinar. (Catatan: di beberapa tempat udan kethek berubah menjadi udan tekek, hehehe, bukan lagi monyet (kethek itu monyet), melainkan diubah menjadi tekek, yaitu tokek).
Kembali ke kejadian yang sedang melanda Kemenkeu seperti tulisan ini mengawalinya; sejak awal saya tidak setuju bila ada orang atau pihak yang melukiskannya sebagai prahara. Menurutku, lebih tepatnya kejadian di Kemenkeu itu seperti udan suweni, atau bahkan lebih tepatnya udan kethek.
Memang ada “hujan” memrihatinkan bahkan memalukan di sana (sini), meski begitu matahari Kemenkeu tetap saja bersinar. Tepatlah yang sedang terjadi adalah udan kethek, dan semoga karena hujannya hanya sebentar, harimau (macan) belum sempat berjemur, dan matahari tetap terus bersinar sebagaimana mestinya.
Pantunnya berubah demikian: Udan kethek, macan dhedhe; wong wis tuwek aja golek senenge dhewe. Pantun yang di atas tadi sindiran untuk orang-orang tuwek (dewasa, tua dan berpangkat biasanya) yang hanya mencari kesenangan diri sendiri; kini dalam pantun yang sudah diubah ini ada harapan dan dambaan agar mereka yang berpangkat dan punya posisi, janganlah hanya mencari keuntungan diri.
Berbaktilah untuk negeri dan bangsa ini sehingga pantunnya menjadi lebih bernas lagi: Udan kethek, macam dhedhe, ayo golek mulya burine; yakni ajakan mari mencari kemuliaan hidup di kemudian hari nantinya. Apa itu artinya? Peringatan bahwa hidup di kemudian hari itu (hidup kekal, surga) itu ajaran semua agama.
JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang