JC Tukiman Tarunasayoga
NAMA itu merujuk peristiwa. Seseorang bernama Fajar, pasti merujuk pada peristiwa kelahirannya dulu sekian tahun lalu, yakni pasti ia lahir di waktu pagi hari. Mungkinkah namanya Ratri tetapi ia lahir tengah hari? Kecil sekali kemungkinannya.
Sebuah nama juga merujuk harapan. Lihat saja orang-orang bernama Sabar, Lestari, Wasis, Bagas, atau juga Arum. Apa yang diharapkan terjadi pada anak itu oleh pihak orangtuanya? Sudah sangat jelas dari namanya.
Hal itu sejelas pula dengan nama-nama yang merujuk pada urutan kelahiran, seperti Eka untuk menunjukkan ia anak pertama; atau pun Catur untuk pengingat bahwa anak itu adalah anak keempat, dan bukan karena ia lahir tepat pada saat ayahnya menang dalam pertandingan catur.
Alun
Adalah seseorang bernama Alun, sementara alun sendiri maknanya ialah ombak ing pesisir. Pertanyaannya sekarang, pemberian nama Alun ini kira-kira (dulunya) berkaitan dengan peristiwa, harapan, ataukah urutan? Berlakulah di sini “ilmu duga-duga,” yakni sekedar menduga saja bahwa pemberian nama Alun itu bermakna menggabungkan antara peristiwa dan harapan.
Baca juga Moge, Mowah, Mobol-mobol
Entah pada saat pacaran, atau pun ketika keduanya sudah berkeluarga, sangat mungkin sekali ia atau bahkan mereka sangat terpesona melihat alun, melihat ombak yang bergulung-gulung, dan begitu tiba di pantai, ombak itu seolah-olah pecah. Pecahnya ombak itu, -ehhh alun maksudku- , bukan saja sangat indah, tetapi juga memperdengarkan suara khas.
Mana yang disebut alun itu? Ombak yang bergulung-gulung itukah, ataukah ombak yang pecah di pantai itu? Semuanya! Maka, keindahan alun itu tidak pernah habis sepanjang waktu, mulai dari ombak yang bergulung-gulung hingga yang memudar pecah sesampainya di pantai.
Semua sangat indah. Komentar orang pun silih berganti: “Tuh……lihat…….alune gedhe, ombak yang mulai kelihatan bergulung itu tinggi (besar) dan nanti harapannya pecahnya di pesisir juga akan lebih jauh dibanding dengan ombak yang kecil.
Singkat cerita, saksikan sendiri “permainan” ombak itu di pantai selatan terutama (Parangtritis, pantai Ayah, dll); siapa pun tidak akan bosan melihatnya. Kalau ada orang tidak senang melihat ombak bergulung berikut pecahnya ombak itu di pantai, wah………………aneh nih ada orang ora seneng alun.
“Tercatat sejarah”
Berita terakhir ini, seseorang yang bernama Alun sedang “tercatat sejarah” kelam. Semula ia bergulung-gulung, namun pecahnya di pantai tidaklah indah seperti seharusnya. Pecahnya ombak di pantai menyisakan serentetan buih-buih berbau tindak korupsi, cuci uang, hindar-pajak secara kurang terpuji padahal Alun ini pegawai yang sehari-hari mengurus masalah pajak, dsb, dst.
Pecahnya ombak di pantai, -analogi yang pantas kita camkan Bersama- , ternyata tidak selalu indah, bahkan sangat besar kemungkinannya membawa korban.
Bahasa umumnya ialah terseret ombak; maksudnya, terlena oleh permainan keindahan ombak, orang-orang yang menunggu di pantai seringkali mudah terseret ombak dan terbawa ke tengah lagi.
Benarkah ke tengah-tengah lautan itu. Tidak juga, namun karena tidak siap atau pun tidak terampil, terseret ombak relatif lecil pun, sudah memungkinkan ia terbawa ke tempat yang lebih dalam daripada di pantai.
Baca juga Semangkeyan
Ada pelajaran sangat menarik berkaitan dengan alun ini. Pertama, satu perkara apa pun, sering berupa rentetan peristiwa bahkan perkara lainnya muncul. Satu peristiwa (perkara?) kecil saja, dapat membuka tabir persitiwa, sebutlah meyeret, yang lebih besar.