UNTUK mencari kebenaran isu yang berkembang adanya praktik santet itu, saya berkomunikasi dengan pihak yang menuduh dan yang dituduh. Saya juga menyusupkan “tim rahasia” pada kelompok yang ingin mendenda sehingga saya dapat menyadap bagaimana sebenarnya dan apa mau mereka.
Dan lagi-lagi, sama! Target mereka, lebih ke uang denda. Untuk mencari informasi yang valid, saya mengorek informasi dengan cara bersikap seolah saya tampil sebagai pelindung Mak Ijah. Ini agar ada respon baik dengan kehadiran saya.
Sebagian warga, khususnya dari kalangan terpelajar meyakini jika kasus itu diungkap secara jujur dan terbuka, paling isu atau“tembung jare,” atau katanya. Untuk mencari kebenaran kasus Mak Ijah, saya menemui dua kelompok warga.
Baca juga Santet, Fakta, dan Isu (1)
Pendapat dari kalangan warga yang terpelajar mereka meyakini desanya dijadikan ajang orang luar untuk mencari uang denda. Warga itu juga tidak percaya adanya santet yang dihembuskan itu.
Ketika saya datang ke desa itu dan bertanya bukti Mak Ijah dituduh sebagai dukun santet dan menyimpan sarana santet berupa garam terbungkus kertas yang dimasukkan dalam plastik.
Lucunya, tokoh pendenda yang berperawakan tinggi besar ini takut dengan garam dari Mak Ijah. Dia tidak berani menyimpan dalam rumah, garam itu kemudian diletakkan diatas pohon.
Meneliti
Minat saya masuk dalam kasus Mak Ijah itu jauh dari keinginan untuk memihak agar dia terbebas dari tuduhan warga, atau sebaliknya, memperkuat dakwaan bahwa Mak Ijah itu dukun santet.
Saya memosisikan sebagai penulis yang netral. Dan hasil temuan dari saya dan tim rahasia yang saya susupkan ke kubu pendenda, ternyata banyak ditemui kejanggalan. Misalnya, benda yang dijadikan bukti untuk menuduh Mak Ijah sebagai dukun santet itu sangat lemah, karena lebih banyak unsur “katanya” atau disebut tembung jare.
Diantara beberapa barang bukti itu jika diajukan ke pemerintahan desa atau kepolisian, atau setidaknya warga yang kuaitas berpikirnya memadai, nilainya tentu sangat meragukan, di antaranya :
1.Bungkusan Garam
Kertas pembungkus garam yang oleh warga dikabarkan itu gambar organ (hati, jantung, usus, dan paru-paru), setelah kami teliti, ternyata kertas buku “catatan utang” para pelanggan Mak Ijah.
2. Bungkusan Beras
Beras dalam plastik yang oleh dua dukun dan tim pendenda disebut seabagai alat santet, setelah kami tanyakan kepada Mak Ijah, itu “beras penunggu” yaitu sarana ikhtiar agar daringan (tempat beras) tidak mudah kosong. Cara ini juga dilakukan beberapa tetangga lain yang masih memegang kepercayaan lama.
3. Beras Hitam dan Kutu
Warna hitam pada beras yang menurut para penuduh disebut abu gotho atau kepitihing beracun, juga tidak terbukti. Adalah normal jika beras yang dibungkus sekian tahun, lalu ditumbuhi jamur hingga menghitam. Begitu juga kutu yang ada dalam beras. Hal itu wajar dan terlalu berlebihan jika disebut barang bukti santet.
4. Kredibilitas Saksi
Reputasi dan kredibilitas “saksi ahli” meragukan. Kaswi, salah satu dari pendenda itu pernah tergabung dalam perguruan beladiri saya. Dia kami keluarkan karena suka membuat kebohongan. Dia itu buta huruf sehingga tidak bisa mengikuti kurikulum standar perguruan. Sedangkan Warisan, walau selalu berpenampilan seperti kiai, catatan di Polsek setempat, termasuk warga yang diawasi.
5. Kesaksian di Balai Desa
Kesaksian Mak Ijah saat di balai desa yang mengaku menyantet enam tetangga, itu karena tekanan masa dan dorongan rasa takut karena massa yang berjubel di luar balai desa, sehingga dia berbicara diluar kesadaran. Salah satu nama yang disebut sebagai korban santetnya adalah anak usia sembilan tahun. Ini sangat tidak masuk akal. Anak sekecil itu disantet untuk kepentingan apa, dan apa pula salahnya?
6.Hasil temuan lain mengarah pada kesimpulan, kasus Mak Ijah itu korban pemerasan yang dilakukan gabungan preman kampung dan dukun palsu. Beberapa warga dari kalangan terpelajar meyakini desa mereka dijadikan ajang orang luar dengan target dapat uang denda.
Faktor penyebab terjadinya isu santet itu tidak lepas dari kebiasaan warga dari kalangan berpendidikan rendah. Cara cara berpikirnya yang terlalu lugu sehingga mudah percaya isu, dan menganggap apa yang dikatakan dukun atau orang pintar itu pasti benar.
Mereka, terutama yang sumber daya manusianya terbatas, tidak punya tradisi klarifikasi saat menyikapi suatu berita. Apalagi jika mereka berkumpul dengan sesamanya … angel temen tuturanmu, angel temen tuturanmu..