SUATU hari saya datang tamu dari sebuah negeri. Sebelumnya tamu itu sudah sering konsultasi melalui telepon yang berkaitan dengan rumah tangganya yang kurang harmonis, karena suaminya menikah sirri (rahasia) dengan wanita yang lebih muda.”
Melalui telepon, dia menyampaikan apa yang sedang dialaminya,”Saya sakit hati, Pak. Saya ingin menyantet wanita yang telah merebut suami saya,” katanya.
“Ibu sudah tahu hukumnya melakukan santet atau sihir?” Tanya saya.
“Terpaksa, Pak. Ini harus saya lakukan agar suami saya bisa kembali.”
“Maksud Ibu menghubungi saya untuk apa?”
“Saya minta Bapak mengawal saya. Saya sudah dapat informasi adanya dukun santet yang ampuh.”
Ibu itu lalu berkisah tentang keampuhan dukun santet yang akan dia datangi, yang infonya tinggal di ujung timur pulau Jawa. Dan untuk ke lokasi itu hanya bisa ditempuh dengan ojeg. Jarak dengan jalan raya masih perjalanan 30 menit dengan motor.
Sebelum menyetujui untuk menemani Ibu itu, saya merenung sesaat. Perasaan saya, yang akan saya datangi itu bukan dukun santet, melainkan orang yang mengaku dukun santet, sehingga ada perang batin, namun perasaan saya sebagai penulis mengatakan, “Masa bodoh, ah. Saya kan perlu banyak referensi untuk penulisan di buku-buku saya.
Oke! Saya lalu memutuskan untuk menemaninya. Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kami sampai alamat yang dituju. Melihat sekilas tuan rumah, saya sempat ngeri. Rambut, kumis, jenggot panjang awut-awutan, dan kuku jarinya separo dari panjang jarinya.