Prosesi menangkal santet. Foto: Dok Masruri.

Kami lalu masuk ruang prakteknya. Tanpa basa-basi tuan rumah langsung bertanya, “Bagaimana, Ibu..? Mau santet yang membuat sekarat atau atau yang langsung membunuh?” Ibu itu ternyata masih punya hati nurani. Dia menjawab,”Jangan sampai dimatikan Mbah, dibuat sakit-sakitan saja biar nanti pulang ke rumah,” jawab Ibu itu.

Dukun itu kemudian mengambil telor ayam lalu membaca mantra. Sesaat kemudian telur itu diletakkan di atas meja lalu berputar-putar dan meledak. Saya sempat kagum, namun naluri saya mengatakan,  itu sulap yang belum saya ketahui rahasianya.

Dengan muka dingin, tuan rumah itu berkata,”Istri muda suamimu saat ini juga sudah layu,” katanya mantap. Saking girangnya, Ibu itu mengajak saya keluar untuk berunding berapa dia harus memberi imbalan yang pantas diberikan.

“Bagaimana kalau diberi lima juta, Pak?” Tanya Ibu itu. Lalu saya  jawab, jangan dulu, kita lihat saja nanti apa benar yang dia katakan itu benar terbukti, yang dia katakan itu kan masih katanya,” jawab saya.

Akhirnya diputuskan bahwa imbalannya Rp 500.000. Dan sejumlah itu, pada tahun 2010 sudah banyak untuk ukuran dukun kampung.

Dalam perjalanan kembali ke hotel, Ibu itu yakin bahwa Ibu muda saingannya itu sudah sakit. Sebaliknya, saya tidak percaya jika belum melihat buktinya. Saya sudah hafal lagak orang yang mengaku sok bisa santet.

Target mereka itu aslinya dapat uang porskot, dan setelah itu tidak ada kelanjutan, dan jika nanti ada yang komplain, akan ditawari untuk mengulang lagi dengan biaya yang lebih mahal, karena dia akan melibatkan guru besar santet, katanya!

Malam hari kami menginap di hotel. Walau saya sudah dapat memprediksi apa yang terjadi, saya minta Ibu itu menghubungi nomor telepon temannya yang kenal istri kedua suaminya.

Pagi hari, dia minta karyawannya untuk memata-matai “saingan”-nya. Sekitar tiga jam kemudian sudah ada informasi bahwa istri muda itu sedang fitnes. Mendengar berita itu, dia ingin mengajak saya kembali ke orang yang mengaku dukun santet itu. Namun kali ini saya pilih tidak menemaninya. Saya pilih pulang naik bus Surabaya – Semarang.

Seminggu setelah kejadian itu, di perkampungan nelayan, ada Ibu-Ibu pedagang ikan dan sayur diduga menyantet beberapa tetangga. Mendengar itu saya tertarik untuk mencari informasi, siapa tahu bisa melengkapi refrensi penulisan di rubrik atau buku.

Karena di perkampungan nelayan itu saya banyak teman, dalam waktu singkat saya bisa dipertemukan dengan Ibu  yang dituduh sebagai tukang santet. Karena di desa itu saya banyak kenal warganya, saya tertarik mengamati apa yang terjadi.

Agar informasinya lebih valid, saya perlu menemui  langsung pihak yang diduga punya ilmu santet dan melakukan santet. Dalam pertemuan itu saya berhasil mengorek informasi. Ibu itu tampak tegar dan tidak ada perasaan khawatir tentang keselamatan jiwanya.

Dia mengaku pasrah. Yang ada dalam pikirannya itu soal denda yang diputuskan sepihak oleh orang dari luar (preman dan “orang pintar”)  yang kemudian lebih berperan dalam memainkan urusan denda  mendenda itu.

Jumlahnya pun fantastik menurut ukuran orang desa, yaitu Rp.10.000.000,- Itu pun masih ada kemungkinan denda susulan jika dikemudian hari ada tetangga yang sakit atau yang meninggal secara tidak wajar.

Bersambung

Masruri, penulis buku praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan Cluwak, Pati