blank
Ilustrasi: Wied

Keberuntungan Indonesia karena memiliki bahasa persatuan, sehingga tidak perlu ada kejadian seperti di Bangladesh. Mempertahankan bahasa dengan pertumpahan darah. Tetapi keberuntungan itu juga memunculkan keberugian. Sebab, orang menjadi merasa tidak penting untuk menggunakan Bahasa daerahnya.

Sekitar 20 atau 30 tahunan lalu, ketika kita menonton televisi dan ada berita tentang Bali, lalu ada pejabat atau masyarakat yang diwawancarai, kitab isa langsung menangkap, bahwa yang diwawancarai orang Bali. Itu jelas dengan fonem /th/ yang memang dimiliki Bahasa Bali.

Orang Bali (setidaknya dulu) tidak bisa menyebut kata “patung”, mereka pasti mengucapkan kata “pathung”. Demikian juga kata-kata lain yang menggunakan fonem /t/ pasti dilafalkan /th/. Tetapi bila kita menonton televisi sekarang,

Ketika ada narasumber dari Bali baik orang dewasa maupun pemuda dan remajanya tak tampak menggunakan fonem /th/. Tak lagi mengucapkan “pathung” tetapi sudah biasa dengan ucapan “patung”.

Fenomena ini saya tanyakan pada seorang teman yang berasal dari Bali dan tinggal di Denpasar, mengapa itu terjadi. Karena orang Bali “belajar” mengucapkan dalam Bahasa Indonesia atau memang bahasa daerah yang sudah mulai luntur oleh pemakainya?

“Waduh, Mas, anak saya sekarang juga sudah ndak bisa Bahasa Bali,” kata teman saya itu. Bukan berarti sama sekali tak bisa berbahasa Bali, tetapi Bahasa Balinya sudah tidak sebagus, sehalus, dan selengkap sebagaimana mestinya.

“Persis yang terjadi pada Bahasa Jawa. Anak-anak saya juga sudah tidak terlalu banyak menguasai Bahasa Jawa,” kata saya.

Saya kira juga di daerah-daerah lain di Indonesia, keadaannya nyaris seperti ini. Mereka sudah merasakan nikmatnya menggunakan Bahasa Indonesia, yang sudah dipelajari bahkan sejak sebelum sekolah, bahkan mungkin sudah menjadi bahasa ibu mereka.

Jelas sangat berbeda dengan mereka yang lahir tahun 60-an, yang menikmati pelajaran Bahasa daerah dari kelas 1 sampai 3 SD. Setidaknya mereka tahu, kalau pun tidak paham, bahwa masa kecilnya sekolah dengan pengantar bahasa daerah. Baru tahun 70-an, Ketika Daoed Joesoef menjadi Penteri Pendidikan dan Kebudayaan, pelajaran Bahasa daerah dihilangkan.

Banyak usaha yang dilakukan agar bahasa daerah bisa kembali ke sekolah. Di Jawa Tengah, misalnya, sejak Kongres Bahasa Jawa tahun 1991, upaya untuk mengembalikan Bahasa daerah ke sekolah terus diupayakan. Baru sekitar tahun 2000-an awal, Bahasa Jawa masuk ke sekolah sebagai “muatan lokal”.

Untung Ada Didi Kempot

Di tengah suasana Bahasa Jawa, khususnya, yang kian temaram, ada secercah sinar yang membangkitkan Kembali. Tentu semua kenal, Didi Kempot, yang berhasil membangkitkan Kembali Bahasa Jawa, bukan hanya di tataran Jawa, tetapi di tingkat nasional, bahkan internasional. Bahkan, yang hebat lagi, anak-anak muda menyukainya.