Kalau tak ada Didi Kempot, anak-anak muda mungkin tidak kenal lagi bahasa ibunya. Bisa kita lihat bagaimana bila Didi Kempot manggung. Yang hadir belasan ribu orang bahkan mungkin lebih. Mereka menari, bergoyang, dan berdendang menggunakan Bahasa Jawa.
Sayang Didi Kempot terlalu cepat pulang, tetapi masih ada Denny Caknan, Happy Asmara, Nella Kharisma, Dory Harsa, Via Vallen, Ndarboy, Abah Lala. Mereka adalah penyelamat, setidaknya pembawa umur yang lebih panjang bagi bahasa Jawa. Meski, kita para pemerhati Bahasa Jawa harus memaklumi. Kalau Didi Kempot, memang kampiun. Lirik-lirik lagunya denagn menggunakan Bahasa Jawa yang bagus, persajakan yang indah, diksi atau pilihan kata yang luar biasa dengan metafora indah.
Sedangkan Denny Caknan dan teman-temannya, Bahasa Jawanya harus dimaklumi. Ada beberapa kata atau kalimat yang tidak tepat, ungkapan yang keliru, dan sebagainya. Sebut saja salah satu contohnya, lagu “Banyu Moto”-nya Nella Kharisma dan Dory Harsa.
Menulisnya juga sudah salah, bukan “moto” tetapi harusnya “mata”. Kemudian ungkapan “banyu mata” atau bahkan “banyu moto” (air memotret) itu tidak ada. Tampaknya pengarang lagu menerjemahkan saja kata “air mata” menjadi “banyu moto”. Padahal dalam Bahasa Jawa tidak ada kata itu, yang ada adalah “luh” yang berarti air mata.
Saya tidak akan ngonceki hal ini, karena nanti malahan bisa mengurangi semangat mereka berkarya menggunakan Bahasa Jawa. Karena mereka sejatinya kini, adalah penyelamat bahasa Jawa. Memang ada penyelamat lain misalnya gereja-gereja Kristen yang tergabung dalam Badan Musyawarah Gereja Jawa (BMGJ).
Gereja seperti Gereja Kristen Jawa (GKJ), Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU), Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), GITJ (Gereja Injili di Tanah Jawa) masih menggunakan Bahasa Jawa dalam ibadah dan pujian-pujiannya. Meski tidak setiap Minggu. Tetapi mereka adalah tergolong “pemerpanjang usia” bahasa Jawa.
Juga pondok-pondok pesantren di Jawa, masih banyak yang menggunakan pengantar Bahasa Jawa. Dari sana kemudian lahir para dai atau kiai yang dalam ceramah atau khotbahnya fasih menggunakan Bahasa Jawa.
Juga keberadaan komunitas atau Lembaga pemerhati dan pelestari Bahasa Jawa, jangan dilupakan. Mereka dengan sangat berat perjuangannya untuk menyelamatkan Bahasa Jawa. Saya tidak yakin dengan keberadaan sekolah, karena guru Bahasa Jawa di sekolah juga banyak yang tidak bisa berbahasa Jawa. Maka, tidak heran bila ada guru matematika, fisika, atau yang lain karena menguasai Bahasa Jawa kemudian mengajar untuk mata pelajaran itu.
Masih banyak yang bsia disampaikan terkait dengan Bahasa Jawa ini. Tetapi setidaknya inilah catatan kecil saya di Hari Bahasa Ibu Internasional 21 Februari 2023.
Widiyartono R., pandhemen basa lan budaya Jawi, wartawan suarabaru.id.