Kepala BRIN Laksana Tri Handoko.(Foto: SB/Humas BRIN)

JAKARTA (SUARABARU.ID) – Belakangan ini Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tengah menjadi perbincangan masyarakat khususnya di media massa terkait berbagai isu yang memojokkan BRIN.

Hal ini tidak hanya merugikan BRIN sebagai lembaga, tetapi juga berpotensi merusak upaya dan kerja keras berbagai pihak untuk memperkuat ekosistem riset dan inovasi bagi Indonesia yang lebih baik di masa depan.

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko dalam siaran pers Sabtu (11/2) menyatakan, sejumlah pemberitaan yang tendensius ini tidak mendidik dan tidak mencerahkan publik, serta kontra produktif dengan upaya meningkatkan literasi iptek masyarakat.

Menurut Laksana, sebagai bagian dari upaya edukasi publik, BRIN merasa ini adalah saat yang tepat untuk memberikan penjelasan resmi secara komprehensif atas berbagai isu yang berkembang. Lampiran yang sama dari rilis ini disampaikan ke media terkait sekaligus sebagai hak jawab BRIN atas berita yang telah ditayangkan.

Dia menegaskan, BRIN selalu terbuka untuk memberikan penjelasan atas berbagai pertanyaan sebagai konsekuensi dari berbagai kebijakan publik yang telah diambil. Berbagai kebijakan yang diambil di BRIN adalah aksi nyata BRIN untuk melakukan transformasi kelembagaan dan tata kelola riset dan inovasi di tanah air secara menyeluruh, serta implementasi revolusi mental untuk mengubah pola pikir dan kerja para periset di Indonesia.

Transformasi di kelembagaan dan tata kelola di BRIN adalah yang terbesar dalam sejarah republik ini, dan bahkan telah menjadi model serta tolok ukur baru berbagai lembaga riset di dunia. BRIN meyakini upaya ini mendapatkan dukungan dari sebagian besar komunitas periset dan masyarakat Indonesia.

Berikut penjelasan BRIN atas isu-isu yang beredar:

1. Penghilangan jejak Bpk. B.J. Habibie di diorama lobi kantor pusat BRIN Pemberitaan dan interpretasi yang sangat subyektif dari tayangan informasi di diorama lobi kantor pusat BRIN ini sangat disayangkan, cenderung provokatif, tidak memiliki semangat membangun kebersamaan dan berpotensi memecah-belah generasi muda penerus bangsa.

Padahal B.J. Habibie (alm) diabadikan namanya untuk Kawasan Administrasi (KA) BRIN di Thamrin dan gedung kantor pusat BRIN di dalamnya, selain Kawasan Sains dan Teknologi (KST) terbesar BRIN di Serpong yaitu KST B.J. Habibie.
Perlu diluruskan bahwa di diorama tersebut jelas terpampang foto Bpk. B.J. Habibie muda dalam ukuran sangat besar berukuran penuh yang sedang memegang pesawat dengan nama beliau yang tercantum sangat jelas.

2. BRIN menolak membiayai metode deteksi dini tsunami yang lebih murah

Setelah dilakukan penelusuran, salah satu periset BRIN sebagai sumber informasi merupakan pengusul poposal riset metode deteksi dini tsunami. Fakta yang terjadi adalah bukan BRIN menolak, tetapi proposal riset yang bersangkutan belum berhasil mendapatkan pendanaan yang dibuka secara kompetitif, mungkin karena proposalnya belum sesuai.

Skema pendanaan di BRIN selalu dilaksanakan berbasis kompetisi terbuka untuk memastikan bahwa pelaksana riset memiliki komitmen dan rekam jejak terkait yang terbaik di topik tersebut. Ini penting untuk meningkatkan tingkat keberhasilan riset. Sehingga tidak bisa diinterpretasikan bahwa BRIN tidak mendukung topik tersebut. Karena realitanya masih banyak proposal lain yang terkait topik deteksi dini tsunami yang dibiayai oleh BRIN.

3. Seolah telah terjadi penyelewengan anggaran di BRIN
a) Hasil Pemeriksaan BPK RI
BPK RI telah selesai melakukan proses PDTT (Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu) pada akhir 2022 sebagai bagian dari proses likuidasi DIPA pada 5 eks entitas lama (Kemristek, BATAN, BPPT, LAPAN, dan LIPI). Tetapi sampai hari ini (8 Februari 2023) BRIN belum menerima LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) BPK RI.

Sebagai bagian dari proses sebelum penerbitan LHP, pada pertengahan Januari 2023 lalu, BRIN telah melaksanakan tahap respon untuk mengklarifikasi KHP (Konsep Hasil Pemeriksaan). Dengan demikian, secara resmi belum ada temuan dari BPK RI terhadap BRIN. Sesuai ketentuan, seharusnya KHP belum dapat menjadi dokumen publik karena masih membutuhkan klarifikasi dari kedua pihak (pemeriksa dan terperiksa).

Komper Wardopo