blank
Ilustrasi. Foto: pixabay

Oleh: Amir Machmud NS

blankDR SUPARI. Bersahaja orangnya, ramah gesturnya, menyenangkan cara berelasinya.

Rektor Universitas Semarang ini memberi closing statement yang memikat dalam Dialog 5 Rektor di Kampus Udinus, 2 Februari lalu.

Memilih pemimpin, katanya, tentulah didasarkan pada cinta. Namun “rasa terdalam” itu bukan berbasis sosok yang dipilih, melainkan untuk siapa dan atas nama orientasi apa sosok itu kita beri “amanah”.

Maknanya, cinta kita bukanlah untuk si calon pemimpin. Kita memilih dia atas nama cinta kepada bangsa.

Supari berlogika, ungkapan cinta Tanah Air wajib kita wujudkan dengan cara memilih pemimpin yang tepat dan mumpuni, demi Indonesia yang lebih baik. Kalau kita salah memilih pemimpin, sama artinya kita tidak cinta negeri.

Menjaga Bangsa
Statemen dalam rangkaian acara peringatan Hari Pers Nasional 2023 Tingkat Jawa Tengah itu boleh saja dinilai normatif dan “penuh bunga”, namun logika berpikir sehat akan memastikan bahwa alur demikian itulah yang mestinya kita jaga dan kembangkan, dari kacamata media.

Menyambung spirit HPN 2023 yang dikembangkan oleh PWI Provinsi Jawa Tengah, berupa tagline “Wartawan Cerdas, Media Waras”, pikiran Rektor USM merupakan mozaik rasa untuk merekatkan puzzle “menjaga bangsa”.

Cinta tak cuma terekspresi dalam jargon normatif dan plastis, akan tetapi mewujud sebagai kekuatan penyangga cita-cita tentang kehidupan bangsa yang lebih baik. Pilar itu adalah jawaban atas pertanyaan, “Diakah yang pas sebagai figur untuk tujuan menjaga dan memajukan bangsa?

“Mengapa pula saya mengaitkannya dengan media?

Sulit untuk tidak mengakui, lewat medialah publik mengenal sosok-sosok yang diapungkan di sebuah etalase kepemimpinan. Ini orang-orangnya, ini kelebihan-kelebihan dan prestasinya. Pun disajikan tentang rekam jejaknya, apa saja kekurangannya, peta dukungan, potensi ganjalan-ganjalan, dan sebagainya.

Media memaparkan konsiderans kepada publik untuk dijadikan bagian dari pertimbangan sikap. Bukankah dengan skema demikian ini kejujuran media dipertaruhkan?

Jalan pikiran itu berbeda dari influencer atau bahkan buzzer yang memutlakkan “kebenaran” bagi jagoannya, dan mengabsolutisasi “kekurangan” lawan-lawan sang majikan.

Berbeda dari praktik-praktik endorsement, influencing, dan apalagi buzzer, produk jurnalistik tetap harus berstandar tiga matra, yakni kepercayaan publik, akuntabilitas, dan disiplin verifikasi.

Logika Tiga Matra
Tiga matra itu harus berfondasi kejujuran. Informasi apa pun, oleh media diharapkan dapat menumbuhkan kepercayaan publik.

Public trust hanya dapat terbangun oleh informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Dan, akuntabilitas akan lahir dari mekanisme verifikasi yang berdisiplin.

Dalam tiga matra itu teryakinkan bahwa kejujuran akan menjauhkan media dari otak-atik framing dan setting pemberitaan menuju ke target tertentu. Target yang tentu bermuatan pemaparan keunggulan-keunggulan calon tertentu dan kelemahan calon kubu sebelah.

Ketika media mengemas kebijakan editorial yang beralaskan orientasi target, apakah “cinta” bisa dijadikan tujuan? Dan, itulah yang seharusnya mendorong media untuk membedakan positioning-nya dari buzzer, influencer, dan endorser.

Bukankah karena sudah ada arah ke kandidat tertentu, maka seolah-olah figur itulah yang “layak dicintai” untuk merepresentasikan cinta kepada negeri?

Saya menafsiri, tamsil cinta Dr Supari tidak dalam alur framing seperti itu. Cinta utama adalah negeri, dan lantaran rasa itulah maka kita mencari petunjuk memilih calon presiden yang menurut keyakinan kita tepat untuk memancarkannya.

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah