blank
Ilmu kanuragan lebih efektif ketika dipadukan dengan teknik beladiri fisik. Keduanya saling menunjang. Foto: Masruri

KETIKA saya menulis tentang “kesaktian” saya teringat saudara seperguruan silat, yang 15 tahun lalu pernah memeragakan ilmu kebalnya yang dia dapatkan dari Riau, dari guru bernama Datuk Sulaiman di Kampar, Riau Daratan.

Demo ilmu kebalnya bagus. Pisau dapur ukuran besar yang sudah diasah dengan gerinda, disabetkan lengan kirinya dengan ayunan yang kuat. Saya yang ketika itu juga pegang  ilmu kebal versi lain pun sempat miris. “Jangan terlalu keras kang, ” pinta saya.

Teman itu memainkan pisau tajam layaknya pisau karet. Saat uji coba, suaranya seperti pisau beradu karet tebal. Setelah selesai saya perhatikan kulitnya. Ternyata hanya  ada bekas guratan kecil seperti bekas sabetan lidi, merah dan tiada darah keluar.

Bebrapa tahun kemudian, saat ketemu teman yang tidak percaya ilmu kebal, saya ditanya apakah masih berani demo kekebalan seperti dulu? Dia menjawab, “usia bertambah, mental semakin melemah.”

Bagi saya, ilmu kebal itu sudah tidak saya amalkan. Pegang ilmu kebal itu seperti motor baru. Jika baru diambil dari dealer, lagi senang-senangnya, sering dielus, dibuat mondar-mandir agar tetangga pada ngerti, ini saya punya motor baru.

Dulu saya juga demikian, senang pamer. Sekarang, ibarat  motor sudah lama dimiliki, rasa pun berubah. Jika dulu suka pamer, sekarang yang diharapkan kemana pun tidak menemui masalah hingga  tidak perlu memanfaatkan ilmu kebal.

Baca juga Ilmu Pawang Hujan-1

Sebagian ada yang ingin belajar ilmu kebal yang setiap saat bisa dicoba. Dan ilmu itu tergantung  bagaimana guru mewarnainya. Dulu saya berguru kepada orang yang mentalnya kuat dan tidak segan mencoba ilmunya.

Saya sempat ketularan walau sesaat dan orang yang belajar ilmu itu pun sedikit banyak mengikuti saya.

Sekarang setelah saya tidak lagi suka mencoba ilmu, murid saya pun tidak ada yang ikut-ikutan. Jadi, ilmu itu tergantung dari bagaimana seseorang guru mewarnainya. Konsep kebal versi ilmu itu?