blank
Seorang pawang hujan muda yang berasal dari Kudus sedang menjalankan tugasnya. Foto: Dk MAsruri

blankPROFESI pawang hujan itu jika niat awalnya baik, untuk membantu orang lain, tentu memiliki nilai ibadah, sebab jika berhasil, yang  tertolong itu bukan satu dua orang saja.

Jika ada orang yang sakit lalu datang ke tabib dan sembuh, yang tertolong satu orang, kalau kerja pawang hujan, yang tertolong banyak orang. Begitu juga jika ada yang punya kerja, terutama menikah. Karena hukum mendatangi walimah itu fardhu ain.

Karena itu, jika ikhtiar pawang dikabulkan, puluhan bahkan ratusan orang terbantu. Sedangkan jika ada hujan yang menghalangi terlaksana kewajiban, dan  dapat diikhtiari sehingga hujan reda, itu juga pahala bagi pawang.

Menulis Saja!

Walau sudah menulis buku tentang pawang hujan, saya tidak mengklaim sebagai pawang hujan. Karena pergaulan saya luas, saya banyak menerima keilmuan dari sesepuh, termasuk ilmu pawang hujan. Dalam belajar, saya memilih ilmu  yang aman, yang konsepnya tidak kontroversial.

Secara pribadi, saya kurang tertarik dengan ilmu pawang hujan. Kenapa? Pawang ampuh itu yang fokus pada satu profesi. Jika dia sudah mulai  bercabang ke bidang yang lain, tuah ilmunya jadi  hambar.

Sedangkan yang fokus satu ilmu, ketajaman batinnya lebih terjaga sehingga dia menolak jika ada yang tawaran job yang lain. Begitu juga bagi yang ingin belajar ilmu pawang hujan, idealnya juga dengan pawang yang sudah jadi.

Kalau untuk sekedar tahu ilmunya, dapat membaca dari buku tentang pawang hujan, namun jika ingin keberkahan dari ilmunya, belajarlah dengan pawang yang jam terbangnya sudah tinggi. Kalau dari buku, lebih bersifat wawasan.

Banyak yang unik berkaitan ilmu pawang hujan. Saat akan  menyisihkan hujan, mereka minta ziarah ke kerabat yang akan punya hajat, yang sudah meninggal. Padahal, lazimnya orang yang masih hidup mendoakan yang sudah meninggal, dan kali ini malah sebaliknya.

Para pawang  mengandalkan doa para ahli kubur. Keyakinan mereka, mereka itu doanya lebih ampuh atau manjur, karena mereka sudah tidak  makan wohing ndami (nasi) dan yang mengandung garam.

Cara  ini  dilakukan pawang yang dulu mempawangi pernikahan saya tahun 1988. Karena saat itu musim hujan, agar  hujan tidak turun, ada saudara minta bantuan ikhtiar pawang yang tetangga dekat.

Waktu itu tampak mendung tipis. Setelah mahrib cerah, bintang  bertaburan dan sebagian mulai tertutup mendung. Saya tidak memperhatikan perubahan diluar. Setelah sesi ijab kabul dan foto-foto, hujan turun sangat lebat.

Belajar Ilmunya

Lain hari, saya datang ke  pawang itu untuk belajar ilmunya.  Kata Mbah Wi, panggilan pawang itu,  orang yang masih hidup itu masih senang maksiat dan makan pun jarang pilih-pilih, halal atau haram, makanya ilmunya kurang ampuh.

Cara Mbah Wi “menyisihkan” hujan, itu diawali dengan ziarah ke keluarga yang minta bantuan, yang sudah meninggal. Misalnya, yang menikah putra Pak Suto, maka dia ziarah ke makam Pak Suto lalu  nembung atau izin, kurang lebih begini :

“Mbah Suto, karena sampeyan sudah tidak makan buah jerami, beras, nasi dan garam,  tolong bantu saya mendoakan  saudaramu yang akan menikah. Kalau saya yang berdoa kurang manjur, karena saya masih makan garam dan nasi.”

Ucapan itu didekat pusara Pak Suto. Intinya, mengutarakan keinginan untuk membantu, agar doa untuk keluarganya dikabulkan Tuhan. Setelah itu berdoa  : Ya Allah, hamba mohon agar Engkau mengutus Malaikat Mikail untuk menyingkirkan hujan, dibantu para bidadari dari khayangan.

Untuk memperkuat ikhtiarnya dijelaskan rinci. Misalnya, minta agar hujan yang semestinya turun di barat, turunkan ke desa A, sebelah utara di desa B, sebelah timur di desa C dan yang selatan di desa D.

Setelah itu, mengambil segenggam garam dapur (garam kasar) dan dibacakan mantra: Kunfayakun dadi terang Allahu Akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Namun jika yang dikehendaki hujan, kalimatnya diganti : Kun fayakun, dadi udan Allahu Akbar x 3.

Garam lalu ditiup dan diberikan yang mau menikahkan anaknya. Garam lalu dicampur nasi yang dimasak pada saat hari H pernikahan. Syarat lain, cara mengambil nasi (Jawa : Sega adang) seolah “mencuri” tanpa permisi sama bagian dapur.

Garam yang sudah dimantrai,  dicampur nasi lalu  dilempar ke atas genteng  pada talang air, atau tengah antara rumah depan dan belakang. Untuk reaksi lebih kuatnya, selain garam, dengan mencari rumput yang tumbuh disekitar lokasi.

Rumput lalu ditali wangsul dan mengucapkan : “Kula mboten niat nali suket, nangin naleni udan supaya aja ngasi mudhun.” Yang artinya : Aku tidak berniat mengikat rumput, melainkan mengikat hujan, agar jangan turun.

Setelah itu ikatan pada rumput ditarik kembali agar lepas. Seperti ilmu pawang hujan yang lain, versi Wi juga berpantang makan minum pada lokasi yang dipawangi. Untuk hasil lebih baik, juga disertai dengan puasa. (Bersambung).