blank

Oleh: Amir Machmud NS

blankPEPE marah-marah. Bek Portugal yang pernah identik sebagai “pengawal Messi” dalam el clasico semasa memperkuat Real Madrid itu merasa, timnyalah yang lebih pantas menang atas Maroko, bahkan meraih Piala Dunia.

Dia menuding ada konspirasi yang men-setting Argentina memenangi trofi. Penunjukan wasit Argentina Facunde Tello untuk memimpin partai 8 besar antara Portugal vs Maroko, menurutnya adalah indikasi persekongkolan itu, justru setelah sebelumnya kapten Argentina Lionel Messi mengkritik wasit Antonio Mateu Lahoz (Spanyol) dalam laga melawan Belanda.

Pepe tak terima Selecao das Quinas ditaklukkan Maroko, yang menurut dia hanya main bertahan dan bertahan, lalu sesekali menyerang.

Dia lupa, dalam sebuah pertandingan, efektivitas adalah kunci kemenangan. Pepe lupa pula, bukankah Jepang mampu mengalahkan Jerman dan Spanyol? Bukankah dengan permainan efektivitas, Korea Selatan menundukkan Portugal, juga Kroasia menjungkalkan Brazil?

Apakah kemenangan lawan adalah “kesalahan”? Apakah sejarah Afrika lolos ke semifinal adalah “kekeliruan” yang patut digugat?

Superioritas buta adalah jawaban, mengapa kemajuan tim-tim Asia-Afrika tidak dipandang sebagai dekonstruksi terhadap inferioritas. Padahal, tak seharusnya prestasi itu dinilai terus menerus hanya sebagai kejutan.

Qatar 2022 adalah Piala Dunia yang memaparkan kemerataan kekuatan. Katakanlah ini sebuah lompatan level.

Langkah Maroko
Tak legawa-kah kita menerima sejarah Maroko?

Singa Atlas hadir di Qatar dengan catatan mata rantai waktu. Bukankah pada 1986 mereka telah mengejutkan dunia dengan lolos ke 16 besar?

Seharusnya Portugal ingat, salah satu tim yang dikalahkan di babak grup adalah Portugal. Skornya pun mantap, 3-1. Dalam dua laga lainnya melawan Polandia dan Inggris, Badou Ezakki dkk imbang tanpa gol.

Di babak gugur, Aziz Bouderballa dkk terlibat duel sengit melawan Jerman Barat, dan baru pada akhir pertandingan, lewat tendangan jarak jauh menyusur tanah Lothar Matthaeus, gawang Maroko bisa ditaklukkan.

Kini Singa Atlas tampil lebih matang dan sistematis. Sejumlah pemain yang menjadi kunci di klub-klub liga Eropa bahu membahu dalam kekuatan kolektif yang menakutkan. Kemenangan atas Spanyol dan Portugal adalah capaian level, bukan lagi kejutan instan.

Sebutlah nama-nama ini: Hakim Ziyech (Chelsea), Yassine Bounou (Sevilla), Achraf Hakimi (PSG), Sofyan Amrabat (Fiorentina), Noussair Mazraqui (Bayern Muenchen), Nayef Agued (West Ham United), Jawad El Yamiq (Real Valladolid), Abdelhamid Sabiri (Sampdoria), Abdel Elzazzouli (Osasuna), Romain Saiss (Besiktas), dan Ilias Chair (QPR). Itu untuk menyebut sebagian bintang Maroko yang menebar di liga-liga dunia. Belum lagi yang mewarnai liga domestik mereka.

Jam terbang dan kematangan merupakan “kemewahan” yang sukses dirakit oleh pelatih Walid Regragui.

Atmosfer Semifinal
Asia telah terlebih dahulu merasakan atmosfer semifinal, melalui Korea Selatan pada 2002. Kini menyusul Afrika lewat Maroko.

Tiga kesebelasan Afrika lainnya yang mampu melaju ke 8 besar adalah Kamerun (1990), Senegal (2002), dan Ghana (2010). Ketiganya terhenti sebelum menapak ke 4 besar.

Kini, bukan tidak mungkin Hakim Ziyech dkk bakal membuat lompatan yang lebih gila.

Boleh jadi di semifinal nanti Maroko dipandang underdog melawan juara bertahan Prancis, namun Piala Dunia 2022 ini mengajarkan “jangan sekali-sekali bersikap under-estimate“.

Tidak ada proses yang di atas kertas bisa dipastikan. Dan, bola yang sudah bundar, seperti makin bulat saja di Qatar…

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah