Oleh  :  Sunardi KS

Penyelewengan bagi suami maupun istri merupakan momok yang amat dicemaskan oleh hampir setiap pasangan. Akibat penyelewengan bisa menggoncang ketentraman rumah tangga. Keharmonisan yang sudah dipertahankan dengan susah-payah tiba-tiba bisa hancur berantakan. Anak-anak dan harta benda sudah tidak dihiraukan lagi meski mengalami kerugian yang nyata. Berbagai niat untuk menanggulangi, berbagai kiat dipelajari, sudah pernah diterapkan, tetapi hal itu tetap tak terbendung.

Penyelewengan kadang aneh-aneh apabila diteliti. Seringkali kurang nalar. Suami yang mempunyai istri cantik ditinggal di rumah dan justru menjalani ‘affair’ di luar rumah dengan wanita yang nilai kecantikannya tergolong di bawah istrinya sendiri. Ada pula suami yang mempunyai istri cukup langsing, padat dan serasi, malah suamiya menyeleweng dengan wanita gembrot. Istri sendiri berkulit kuning langsat tetapi suami menyeleweng dengan wanita yang hitam legam.

Hal-hal semacam itu pernah dipaparkan oleh psikolog, penyelewengan yang demikian karena suami ingin mendapatkan variasi di luar rumah. Dan yang mendasarinya adalah fondamen spiritualnya yang kurang kokoh. Sehingga istri yang kurang lihai sedikit saja bisa menimbulkan penyelewengan.

Tetapi masalahnya, kalau penyelewengan itu terlanjur terjadi, meski dengan berbagai cara telah dilakukan untuk menamengi, lalu bagaimana sikap kita? Apakah si penyeleweng itu lalu kita vonis sebagai seseorang yang nista, yang tidak patut dimaafkan. Kalau istri tetap kukuh dengan pendiriannya, suaminya yang menyeleweng tidak harus diterima kembali keberadaannya, maka yang rugi tidak hanya istri saja tetapi juga anak-anak.

Kalau suami yang terlanjur menyeleweng dan berjanji tidak akan mengulangi mengapa istri tidak memaafkan saja? Mengapa kita tetap men-cap sebagai kesalahan yang tak terampuni. Kita mestinya berusaha untuk membenahi kerusakan tersebut demi kebaikan di hari-hari selanjutnya yang lebih panjang lagi.

Pendapat Unik

Ada petuah aneh tentang penyelewengan. Konon ketika Mullah Abu Nawas diminta nasehatnya tentang penyelewengan, lalu orang-orang dikumpulkan. Dan orang-orang yang sedang berkumpul itu diberi suguhan kerupuk yang beraneka warnanya. Masing-masing orang ada yang mendapat kerupuk warna hijau, ada yang warna kuning, dan sebagainya. Dan masing-masing orang disuruh saling menukarkan sebagian kerupuknya, lalu dipersilahkan untuk merasakan dari warna kerupuk yang berbeda itu.

Setelah itu Mullah Abu Nawas bertanya : Bagaimana rasa kerupuk warna hijau dibanding rasa kerupuk warna kuning, kerupuk warna merah dengan yang warna jambon, dan seterusnya. Jawaban dari orang-orang : Apa pun warna kerupuknya, sama semua rasanya.

***

Hal aneh lagi. Seseorang selalu dirundung kecemasan, jangan-jangan pasangannya akan menyeleweng. Maka ia selalu waspada, memata-matai, menelisik, mencari-cari informasi, untuk membuktikan dugaannya. Begitu selalu, pikirannya jarang merasa tenang. Ia selalu cemburu kepada pasangannya.

Setelah terbukti, bahwa pasangannya menyeleweng semula ia marah besar, nyaris frustrasi, nyaris putus asa. Tetapi setelah pasangannya yang melakukan penyelewengan itu berikrar tidak akan mengulangi perbuatannya lagi, kapok, minta ampun, tenanglah batin pasanganya. Lenyaplah rasa cemburu yang selalu menghantui pikirannya. Tetapi tentu saja kalau penyelewengan yang ibarat penyakit itu belum kronis keadaannya.

Dan perilaku salah tetapi diakui oleh pelakuya biasanya akan mengubah sikap si pelaku, yang semula buruk menjadi baik. Ada pertaubatan yang ditandai dengan pengakuan, kejujuran itu. Dan karena seseorang telah mengakui kesalahannya maka ia akan berusaha lebih kasih sayang lagi kepada pasangannya sendiri, dibanding hari-hari sebelumya.

Tetapi memang perlu diakui bahwa penyelewengan, kalau hal itu terjadi, akan membuat kalut pikiran pasangannya. Karena kekalutan pikiran maka sering mau mengambil jalan pintas, memilih perceraian, misalnya karena hal itu dianggap sebagai jalan ke luar. Bisa saja dianggap sebagai upaya menghindari pesoalan, keruwetan atau kekalutan pikiran.

Padahal dampak dari perceraian itu justru amat fatal. Sebab kalau sudah menjadi janda atau duda akan menemukan kesulitan-kesulitan berikutnya. Mau menjalin hubungan perkawinan dengan orang lain lagi pun akan banyak pertimbangan. Yang sebenarnya pertimbangan-pertimbangan itu sebetulya kurang penting. Tetapi memang telah dilandasi oleh traumatis. Orang akan lebih berhati-hati kalau mencari jodohnya lagi setelah perceraian. Karena khawatir akan menemukan nasib buruk yang sama.

Ini karena penyebabnya adalah cerai hidup. Dan orang lain yang akan menjalin hubungan pernikahan dengan kita pun cenderung akan pikir-pikir. Kalau pun mau akan lebih menyelidik. Sebab orang lain akan mudah penasaran dengan sifat-sifat kita, mengapa dulu ketika bersuami-istri sampai bisa bercerai? Fihak siapakah sebenarnya yang bersalah? Yang sulit diatur?. Apalagi kalau pasangan itu sudah memiliki momongan yang lucu-lucu atau yang manis-manis.

Pertahankan

Langkah yang paling bagus dan bijaksana memang kita harus berani menerima kenyataan. Kita harus mau menerima suami atau istri kita kembali. Hal penyelewengan yang sudah terlanjur, cobalah ditoleransi. Kalau kita sudah menyadari sepenuhnya betapa penting kerukunan dan keharmonisan rumah tangga, serta dampak-dampaknya bagi kita maupun anak-anak kita akibat perceraian. Maafkanlah pihak penyeleweng yang bersifat keterlanjuran dan bersikaplah lebih bijaksana.

Sebab kalau kita tidak mampu menjadi pemaaf, penyelewengan tersebut justru akan semakin menjadi-jadi. Penyelewengan itu memang kesalahan, kesalahan pertama, dan kesalahan keduanya karena kita tidak mampu berbijaksana memaafkan. Tanpa upaya baik dari kita penyelewengan justu akan diulang-ulang, atau akan berlanjut karena merasa sudah terlanjur salah dan frustrasi. Penyelewengan bisa menjadi hal yang men-candu (ketagian) karena dirinya yang terlanjur dianggap nista oleh pasangannya sendiri. Lalu fihak penyeleweng malah akan mudah bersikap apatis, masa bodoh. Apabila kesalahan yang terlanjur itu tidak mendapat pemaafan.

Orang yang menyeleweng akan merasa tersinggung apabila tidak mudah diterima kembali oleh pasangannya sendiri yang sah. Akibat penolakan penyelewengan akan sulit menemukan kesadarannya.

Maka kecenderungan penyelewengan akan berlarut-larut biasanya karena sikap sisihannya sendiri yang sah, yang kurang bijaksana mensikapi. Seorang suami (misalnya) akan mudah luluh hatinya apabila kesalahannya dimaafkan. Karena pemaafan itu cermin kebijaksanaan, tanda ketabahan. Rasa bersalah suami akan kentara, dan diubah dengan kasih sayang kepada istri sendiri yang meningkat gara-gara pemaafan. Dan dengan demikian suami pun akan merasa kalah lalu suami akan merasa tunduk, patuh kepada aturan-aturan. Ia akan lebih berhati-hati.

Berbagai Kasus

Dari kasus penyelewengan suami yang terlanjur terjadi, istrinya malah bisa merasa lebih percaya diri. Karena ia menjadi orang yang tabah, menjadi orang yang menang, menjadi orang yang bijaksana. Dengan demikian sugestinya ia posisinya bisa merasa di atas suami. Si istri sudah tidak mudah merasa minder-an lagi. Istri yang mungkin pernah merasa disepelekan kini bisa bangkit jiwanya, penuh percaya diri. Karena memang tidak mengalami kesalahan.

Ada seorang istri yang merasa minder terus-menerus meski kepada suaminya sendiri karena suaminya dari keluarga kaya raya. Atau suaminya teramat ideal, teramat gagah, teramat ganteng dan segalanya. Istri yang demikian sering merasa di pihak yang kalah, meski hanya sebatas anggapannya sendiri. Lebih-lebih kalau si istri memang tidak memiliki penghasilan sendiri, bukan wanita karier. Ia sering gampang merasa terpojok tak berdaya. Tetapi anehnya, setelah suaminya pernah melakukan kesalahan dan dimaafkannya percaya diri si istri malah lebih meningkat.

Istri yang merasa banyak kekurangan akan berimbang karena suaminya pun telah memiliki kekurangan akibat penyelewengannya. Dan sebaliknya si suami akan merasa hormat kepada istri. Sebab kelebihan-kelebihan yang ada pada dirinya seolah telah dipangkasnya sendiri.

Namun demikian, dengan alasan apa pun, penyelewengan tidak boleh terjadi. Karena hal itu menodai nuraninya sendiri.

Penulis adalah budayawan yang tinggal di Jepara