blank
Ilustrasi. Foto: pixa

Oleh: Amir Machmud NS

blankKETERPELESETAN” pegiat media sosial Eko Kunthadi, dalam narasi komentar terhadap Imaz Fatimatus Zahra, ustazah Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, baru-baru ini, sulit dicerna hanya sebagai kekhilafan. Istilah terpeleset itu juga patut diletakkan dalam tanda kutip.

Pun, pernyataan anggota DPR Effendi Simbolon tentang prajurit TNI, tampaknya sulit dipahami, semata-mata sebagai narasi fungsi kontrol DPR. Muncul sejumlah reaksi dari kalangan prajurit TNI.

Anggota DPR M Farhan balik menanggapi, jangan sampai TNI dianggap menakuti sesama warga negara, saat menyampaikan hak kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi. Prajurit TNI yang tidak menerima pernyataan keras, sebaiknya menempuh jalur hukum.

Sebelumnya, kalimat “salah minum obat” oleh anggota DPR Riezky Aprilia dalam sebuah rapat dengar pendapat, menimbulkan ketersinggungan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Ada legislator lain yang membela, bahwa anggota parlemen punya hak dan bahkan wajib bicara.

Tiga contoh itu saja telah menimbulkan kegaduhan yang tidak produktif. Yang berkembang adalah respons “terlukai”. Tidakkah orang yang berkomentar mempertimbangkan, betapa narasi itu berpotensi menyulut disharmoni?

Artinya, tak sedikit “orang pintar” yang berbicara tanpa menghitung dampak “rasa” kepada pihak lain. Apakah lantaran merasa punya tanggung jawab di dalam tugasnya? Atau karena yakin tak tersentuh oleh hukum? Tak terpikirkankah, ada orang lain yang punya hati dan perasaan?

Berpikir soal “Kemasan”
Dalam praktik komunikasi — berupa ucapan, gestur fisik dan psikis –, orang-orang yang merasa punya fungsi tertentu terkadang tidak mau berpikir tentang “kemasan”. Padahal, di luar teori-teori komunikasi massa, termasuk relasi personal antarmanusia, selalu dibutuhkan “kemasan mulut”, “ekspresi gestur”, dan “diplomasi hati”.

Kematangan seseorang bisa dinilai dari kemampuan menimbang urgensi kalimat, pilihan diksi, kemasan narasi, dan pengelolaan ungkapan gesturalnya.

Semakin dia matang, semakin tajam dia mampu menyampaikan butir-butir pernyataan dan sikap, dengan kemasan yang tidak membuat pihak lain terluka dan tergerak mereaksi dengan cara mereka.

Kemampuan komunikasi massa ini, tentu juga masuk dalam wilayah kualitas kenegarawanan seseorang, apalagi yang punya peran dalam fungsi-fungsi relasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan.

Kualitas ekspresional akan memperlihatkan “maqam” seseorang. Semakin dia matang dalam unjuk sikap kenegarawanan, semakin dia punya positioning dalam ruang komunikasi massa.

Kasus Pegiat Medsos
Di dunia media sosial, seperti dalam kasus Eko Kunthadi, tak sedikit kita catat keterpelesetan seseorang yang “tidak mampu menahan cuitan”, dalam komunikasi verbal maupun di media sosial.

Ketika berujung meminta maaf karena ketidakmampuan menahan diri, jejak apa yang sebenarnya hendak dia tinggalkan? Apakah targetnya yang penting permintaan maaf diterima, lalu dia sudah merasa “sukses” bisa melukai pihak lain?

Menyerang pihak yang secara ideologis tidak sama, penegasan untuk mempolarisasi kelompok dan keyakinan, juga intensi men-down grade seseorang adalah indikator-indikator yang saat ini kental sebagai fenomena bias dalam komunikasi massa.

Intinya adalah, ketidakmampuan menahan diri dalam konstelasi relasi kebangsaan. Bagaimana mungkin seseorang yang mengklaim diri berbhineka, berkeragaman, dan masif meneriakkan jargon-jargon itu; namun realitasnya masih mengusik pihak lain dan mempolarisasinya?

Intensi mencuit di media sosial berupa serangan maya, merupakan petunjuk bahwa ajakan membangun masyarakat yang beradab dengan basis keberagaman, justru dia tabrak sendiri.

Hukum, Perangkat Peradaban
Berkomunikasi untuk menyampaikan pesan fungsi kontrol, pengawasan dalam praktik di bidang apa pun tetaplah membutuhkan kemasan, agar pesan itu sampai secara efektif, dengan tetap menghargai pihak lain.

Merespons sesuatu lewat media sosial juga tak patut dilakukan dengan sembarang mencuit secara ofensif. Bukankah pihak lain adalah juga orang yang punya hak untuk merasa “disayat”, atas sebuah unggahan yang berkonotasi menghina, melecehkan, dan merendahkan?

Hukum adalah perangkat peradaban untuk menertibkan semua itu. Yakinilah, tak ada kebebasan berpendapat yang terberangus oleh aturan hukum, manakala kita peka terhadap hati dan rasa sesama manusia.

Dalam praktik komunikasi massa dan komunikasi antarpersonal, selalu gambarkan peta dalam diri kita: Anda bayangkankah perasaan dan hati orang yang akan kita posting dengan narasi cuitan negatif?

Ayolah, ucapan kita kemas, hati kita tata…

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah