Menanggapi kejadiannya, empu keris KRT Subandi Suponingrat selaku pembicara menyatakan, peristiwa yang berlangsung sebenarnya menjadi sebuah pekerjaan rumah bersama. Dikatkan demikian karena background masyarakat sekarang ini kurang paham terhadap budaya Jawa.
Pihaknya sangat setuju jika PUI Javanologi merintis sertifikasi benda pusaka. Meskipun kendala yang akan dihadapi adalah adanya pro-kontra terkait asal-usul koleksi ataupun ketidaksesuaian dengan barangnya.
“Semoga dengan adanya dukungan dan dorongan PUI Javanologi mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat. Khususnya generasi muda untuk lebih peduli dan paham atas budayanya sendiri (Jawa) daripada budaya asing,” ungkapnya
Sementara itu Peneliti Senior Fakultas Hukum UNS Dr. Lego Karjoko dalam paparan bertajuk”‘Konstruksi Hukum Penyelamatan Keris (Benda Pusaka) sebagai Warisan Budaya” menduga terjadinya perusakan atau pemusnahan bisa jadi seperti yang tertuang dalam UU No. 12 Tahun 1951 Pasal 5. UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya sudah menjelaskan apabila benda cagar budaya sudah berusia 50 tahun atau lebih dan telah diusulkan meraih predikat cagar budaya
Maka akan aman dan tidak dapat dimusnahkan atau dihancurkan. Apabila terjadi perusakan atau pemusnahan, tentu akan melanggar hukum.
Disampaikan pula poin-poin pelindungan keris sebagai warisan budaya yang harus dilakukan.“Pertama, harus ada izin kepolisian. Kemudian penetapan benda pusaka sebagai cagar budaya harus dilandasi dengan adanya MoU bersama pemerintah daerah. Terakhir adalah sertifikasi,” terangnya.
Sedangkan pembicara Anang Pratama Widiarsa, M.Sn. mengatakan , pelestarian benda pusaka melalui sertifikasi memerlukan kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak. Selain melalui sertifikasi upaya pelestarian dapat juga dilakukan melalui pendaftaran kekayaan intelektual.
Bagus Adji