Oleh: Amir Machmud NS
// sepak bola, takdirkah dia?/ tak sembarang orang berjodoh dengan peristiwa/ ketika dia meraih piala/ ketika dia tak bersua dengan juara…//
(Sajak “Takdir Sepak Bola”, 2022)
DUA kali meraih treble bersama dua klub yang berbeda, baru Jose Mourinho orangnya.
Tiga tahun beruntun mengantar sebuah klub merajai Eropa, hanya Zinedine Yazid Zidane sosoknya.
Empat kali mempersembahkan dua trofi utama Eropa untuk dua klub berbeda, hanya Carlo Ancelotti pelakunya.
Final Liga Champions 2022, yang pekan lalu dimenangi oleh Real Madrid dengan menggenapkan 14 titel, sarat dengan perbaikan rekor klasik.
Sejarah sepak bola menahbiskan Los Blancos sebagai raja turnamen ini. Juga memprasastikan capaian Don Carlo sebagai pelatih terbanyak juara, catatan usia pencetak gol Vinicius Junior, hingga rekor penyelamatan kiper Thibaut Courtois.
Andai bukan kiper Belgia itu yang mengawal gawang Madrid, berapa gol Liverpool-kah yang bakal bersarang? Dan, aksi-aksi sang kiper menegaskan: pahlawan Madrid pada laga puncak itu bukan hanya Vini Junior, tetapi juga Courtois. Man of the Match sangat pantas mengganjar kehebatannya.
Artinya, Courtois ikut mengarsiteki takdir hebat Don Carlo, sekaligus menjauhkan Juergen Klopp dari pintu takdir lainnya.
Pernyataan Klopp adalah ungkapan tentang ketidakberdayaan dalam garis nasib.
“Bagaimana bisa, Madrid dengan hanya satu dari sedikit kesempatan justru mendapatkan gol, dibandingkan dengan dominasi Liverpool hampir di sepanjang laga…,” ucapnya.
Tradisi dan Nasib
Percayakah Anda, sepak bola memperpadukan simfoni orkestrasi mitos, tradisi, dan nasib sebagai elemen-elemen kesuksesan sebuah tim?
Jose Mourinho membangun mitos sebagai “pelatih satu-satunya” yang menorehkan dua kali treble winner, yakni ketika menukangi FC Porto pada 2004 dan saat mengarsiteki Internazionale Milan pada 2011. Gelar liga, coppa, dan Liga Champion dibendaharakan. Tak berlebihan dia mengklaim diri sebagai “The Special One“.
Alex Ferguson pernah membukukannya bersama Manchester United, Pep Guardiola dan Luiz Enrique untuk Barcelona, Jupp Heynckes untuk Bayern Muenchen, dan Hans-Dieter Flick dengan klub yang sama.
Lalu, treble untuk dua klub di liga yang berbeda?
Mourinho, pelatih asal Portugal itu bahkan “menjajah” Eropa dengan kelengkapan trofi Liga Europa bersama MU dan Liga Conference Eropa untuk AS Roma.
Sementara itu, tiga gelar Liga Champions berturut-turut pada 2016, 2017, 2018 adalah langkah eksepsional Zinedine Zidane. Kegeniusannya menghasilkan chemistry kuat membentuk tradisi Eropa bersama Real Madrid. Dia menjajari catatan tiga kali juara Bob Paisley saat mengawal Liverpool dalam turnamen yang waktu itu bertajuk Piala Champions.
Zidane telah membangun mitosnya di klub Santiago Bernabeu itu.
Carlo Ancelotti melewati Zidane dengan prestasi unik. Arsitek asal Italia itu telah memberi dua gelar Eropa untuk “almamaternya”, AC Milan pada 2003 dan 2008, dan kini menggandakan trofi untuk Madrid setelah 2014.
Sukses Don Carlo mengalahkan Pasukan Juergen Klopp di Parc des Princes pekan lalu menguatkan realitas tentang “nasib”, garis hidup yang merekatkan telepati kimiawinya dengan Madrid.
Tradisi Eropa — dengan kefasihan pengalaman — benar-benar memayungi Real Madrid. Carlo Ancelotti menggenapkan semua elemen mitos, tradisi, dan nasib.
Katakanlah, dia telah menjadi bagian dari takdir sepak bola…
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —