Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Antara jarag, ngawur, dan waton nuansa perbedaannya sangat tipis, nyaris sama. Baru terasa berbeda manakala ada contoh konkret dari pergaulan hidup sehari-hari; apalagi kalau contoh terkait dengan hal-hal yang sedang viral kontekstual.
Sebutlah misalnya dalam ranah politik, ada sejumlah contoh entah terkait dengan perilaku, entah dengan kata-katanya; ada saja sosok yang sertamerta menimbulkan decak kagum atau sebaliknya komentar khalayak: “Ah, ngawur dia itu!!”
Masih ingat bukan seorang politisi yang tiba-tiba berkata: “Saya mengusulkan tiga periode karena ingin menyelamatkan pak wapres?” Sontak muncullah berbagai tanggapan yang jika diringkas, tertuanglah ke dalam tiga kata tadi, jarag, ngawur dan waton dengan tekanan masing-masing penuh intonasi, olahtubuh, dan/atau ekspresi wajah.
Memang saat itu ada saja orang bertanya-tanya, dengan sengajakah dia berkata-kata seperti itu? Malah ada yang menduga-duga, rupanya dia “tersudut” dan untuk menghindar dari ketersudutannya itu, ia maksud hati mau berkelakar, namun apa daya kurang pas kelakarnya karena menyangkut seorang sosok yang posisinya sangat tinggi.
Jarag
Satu aspek yang memberi nuansa berbeda pada jarag (dibanding dengan ngawur dan waton), ialah makna pada kata jarag ini ada kesengajaan mengapa seseorang mengatakan atau bertindak seperti itu.
Ia sadar, bahkan mungkin sudah memperhitungkan, –mula wis mangkana– , dan di situlah jelas sekali betapa orang yang jarag itu adalah orang yang memang punya tujuan tertentu, pancen sinedya. Sebenarnya siapa pun sudah tahu, apalagi politisi, bahwa konstitusi sudah menegaskan tiga periode itu tertutup peluangnya.
Baca Juga: Kini Saatnya TTM: Tolong, Terima Kasih, dan Maaf
Namun, ada saja yang jarag melontarkan isu tiga periode karena masing-masing punya sedya (kemauan, tujuan atau bahkan cita-cita tertentu). Sikap atau pun perilaku jarag sengaja dipilih, dan bukan tidak mustahil orang itu sudah siap menerima penolakan atau komentar. Di antara komentar atas ke-jarag-annya tadi, yah……sudah disebutkan di atas, “Ah, ngawur!” atau “Jangan waton berpendapatlah.”
Seseorang dikatakan ngawur manakala orang itu (a) ngawag, yaitu mung kira-kira, sekedar mengira-kira saja dan sama sekali tidak pasti/baku, (b) jawab asal jawab, berpendapat asal berpendapat, (c) ora nganggo ditamatake, sama sekali ucapannya atau tindakannya tidak memperhitungkan atau memertimbangkan masak-masak; dan (d) ora dipikir dhisik, tidak dipikirkan dulu. Di antara makna a, b, c, dan d inilah nuansa waton terasa banget.
Seseorang dapat dengan spontan berkomentar waton kepada orang lain, ketika orang lain itu tampak banget omongannya asal ngomong saja, dalam bahasa Jawa disebut asal ngucap; dan di situlah terasa banget betapa orang itu ora mikir.
Baca Juga: Kesatria Zaman Now: Tinggalkanlah “Dhemen Moyoki, Mojoke, lan Magoli” (Part 4)
Tentu pertanyaan yang tadi sudah disebutkan di atas perlu diulang lagi, yakni mengapa ada saja orang yang sengaja berkata-kata atau bertindak ngawur dan waton, di samping jarag; atau dengan kata lain, gegabah?
Apakah orang itu sedang memraktikkan jurus “dewa mabuk” sebagai alternatif terakhir berhubung berbagai upayanya menemui jalan buntu? Jika benar jarag, ngawur, dan watonnya itu terkait dengan jurus dewa mabuknya; wah…. jangan diperhatikanlah (apalagi dipilih) orang seperti ini.
(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengajar Pascasarjana di UNIKA Soegijapranata, Semarang dan UNS)