blank
Ilustrasi santri yang sedang belajar pada gurunya. Foto: Ist

blank

TAHUN 90-an saat sowan kiai ahli hikmah dan penulis buku, begitu tahu saya yang menulis rubrik di sebuah harian, perbincangan pun melebar seputar ilmu hikmah, dsb.

Menjelang pulang, saya diberi doa, jika diamalkan rutin (istikamah), menurut beliau, insya Allah rezekinya nanti tidak dari “angkat-junjung” memeras keringat. Melainkan dari empat hal yaitu:  kemampuan memahami, menganalisis, laduni, hikmah, dan logika (analisis).

Ketika saya tanya cara mengamalkannya, dijawab, ”Amalkan dengan istikamah, tidak terikat waktu dan hitungan, jika sudah manjing (meresap) nanti tahu sendiri.”

Ketika doa itu saya amalkan, yang saya rasakan, analisis menjadi tajam. Saat menulis “kebanjiran” ide, saat melihat atau ditanya  fenomena mistis, jawabnya refleks, sering “kebanjiran ide” dan bisa mengembangkannya.

Sebagai penulis, saya sering mengalami “energi tumpah” atau “over mood” hingga mampu menulis  cepat,  (seolah)  tanpa mikir, bahkan prestasi menulis cepat itu sempat ditulis oleh wartawan senior di sebuah harian.

Baca juga Kesaktian Versus Logika

Anak Cerdas

Ketika doa itu saya berikan dua pelajar, dan  pasword-nya diisi: “ilmu”, dia sejak SD hingga S2, cumlaude. Pelajar kedua yang menekankan pada ilmu hikmah (mata batin), karena mentalnya belum siap, dia malah sering menangis saat mata batinnya terbuka.