Beliau juga belajar dari beberapa guru (wanita) ahli hadis maupun fikih: Ummu Hana Al-Mishriyyah, Aisyah bin Abdil Hadi, Sarah binti As-Siraj bin Jama’ah, Zainab binti Al-Hafizh Al-Iraqi, dan Ummu Fadhal binti Muhammad Al-Maqdisi.
Untuk menimba ilmu, kepada ulama di Syam, Hijaz, India, Maroko, Sudan, dsb. Ketika masuk Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, beliau meneguk air zamzam dan memanjatkan doa agar mencapai derajat ilmiah dalam fikih sekelas Sirajuddin Al-Bulqini dan dalam bidang hadis sekelas Al Hafizh Ibnu Hajar.
Dalam menuntut ilmu, beliau menerapkan dua manhaj talaqqi ilmu (metode mencari ilmu). Pertama, memilih satu guru dan dan belajar dalam waktu yang cukup atau sampai sang guru meninggal.
Kedua, tidak membatasi diri pada syekh tertentu. Walau bermazhab Syafi’i dalam ilmu fikih, beliau mendalami fikih dari Izzudin Al-Hanafi. Berkat ketekunannya, beliau mampu menguasai ilmu agama.
Proses Kecerdasan
Kalau kiranya amalan doa Asy Syuyuthi itu bisa melepaskan “dahaga” ilmu, bisa jadi itu yang kita ciri selama ini, dan tentu ada banyak yang memiliki keinginan sama namun belum mendapatkan jalannya.
Jika doa ini bisa melepaskan dahaga spiritual, mungkin ini yang kita ciri. Mungkin banyak yang punya keinginan sama dan belum mendapatkannya.
Termasuk yang menentukan keberkahan dari sebuah ilmu itu proses perjuangan mendapatkannya. Jika ilmu didapatkan gratisan, pada umumnya kurang atau bahkan tidak dihargai.
Dalam tradisi lama, terutama dalam lingkup ilmu hikmah, ada tradisi maskawin (mahal) dalam benturk ternak : Sapi, kerbau, kuda. Itupun prosesnya tidak “terima bersih.” Dia masih melakukan tirakat, puasa mutih tujuh hingga 40 hari.
Dan semua itu harus dilalui, dan tidak ada perjuangan sia-sia. Allah Maha Mengetahui. Dan mereka yang berjalan jauh, ikhlas “melepas” apa yang dia punya : kerbau atau sapi, hasilnya tentu beda dengan mereka yang mendapatkan ilmu melalui copas di Google. Man jadda wajada!
Masruri, penulis buku, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan Cluwak Pati