blank

Oleh : Hadi Priyanto

KUDUS-REMBANG ( SUARABARU.ID ) – Tidak seperti biasa, pada peringatan Hari Lahir RA Kartini ke – 143 kali ini, saya bisa ziarah ke Makam RMP Sosrokartono di makam Sedo Mukti Kaliputu, Kudus dan makam RA Kartini di Mantingan, Rembang bersama trah lajer pahlawan emansipasi ini, Rabu (20/4-2022).

blank
Ziarah di Makam RMP Sosrokartono di Makam Sedo Mukti Kaliputu, Kudus

Ada 3 cicit RA Kartini yang ziarah yaitu RA Kartini, RA Rukmini dan RM Samingun yang datang ke Rembang. Mereka mendapatkan undangan khusus dari Bupati Rembang Abdul Hafidz yang secara khusus menghadirkan mereka ke kota tempat leluhurnya dimakamkan. Bupati Rembang Abdul Hafidz memang memberikan perhatian khusus pada keluarga RA Kartini.

Saya datang bersama aktivis Jepara Wienarto, seniman ukir Leo Ramli dan Rizkin yang menyertai perjalanan kami ke Rembang.

blank

Raden Ayu Kartini Djojo Adhiningrat lahir 21 April 1879 di Mayong, Jepara. Ia wafat pada 17 September 1904 di Rembang dalam pelukan suaminya, Djojo Adhiningrat setelah pada tanggal 13 September 1904 melahirkan putranya, Raden Mas Singgih. Ia di makamkan di Desa Mantingan, Kecamatan Bulu. Nama Raden Mas Singgih kemudian diganti menjadi Raden Mas Soesalit.

Membaca takdirnya

Kartini yang sejak kecil batinnya ditempa dengan berbagai persoalan, tubuh raganya ternyata tidak sekuat jiwanya. Ketika kandungannya memasuki usia 5 bulan, badannya terasa lemah dan sering sakit-sakitan. Bahkan, pada bulan Juli 1904, ia hanya boleh menerima tamu-tamu keluarga karena Kartini memerlukan waktu istirahat yang cukup.

blank
Ziarah di makam Boedhy Soesalit dan makam Soesalit Djoyo Adhiningrat, cucu dan anak RA Kartini ( Foto : Rizkin )

Namun dalam kondisinya yang lemah, sekali-kali ia masih memaksakan diri mengajar di sekolah yang ia dirikan di Rembang. Berbagai persoalan yang ada ditengah masyarakat juga masih menjadi perhatian Kartini.

Bahkan ketika tubuhnya semakin lemah ia masih menulis surat yang berisi kritik terhadap besarnya pajak yang harus dibayar oleh bangsa Bumiputera. Pajak yang besar ini dituding Kartini membuat rakyat menderita dan semakin miskin.

Menurut Kartini, di negeri ini banyak sekali hal-hal yang tidak adil dan mengerikan. Surat yang dikirim kepada Ny. Abendanon tanggal 10 Agustus 1904 ini merupakan kritik terakhir Kartini. Di akhir surat ini Kartini menulis, : “Terimalah salam saya Ibu. Boleh jadi ini surat saya yang terakhir kepada Ibu”. Isyarat bahwa ajal akan segera menjemput juga disampaikan Kartini dalam surat pendek kepada Ny Abendanon tanggal 24 Agustus 1904.
“Surat yang Ibu terima baru-baru ini bukanlah surat yang terakhir. Sudah saya takukan, tetapi yang sekarang ini boleh jadi juga sungguh-sungguh surat yang terakhir.Sebab saya merasa ajal hampir tiba dengan cepatnya,”

Isyarat bahwa ajal hampir menjemput juga kemudian disampaikan Kartini dalam suratnya kepada Eddie Abendanon, “kesempatan bertemu sekarang sama sekali lenyap”

Tanggal 12 Septemper 1904 kondisi Kartini semakin lemah sehingga Djoyo Adhiningrat memanggil dr van Revesteyn dari Pati. Ia datang esok harinya dan pada malam harinya Kartini melahirkan seorang anak laki-laki dalam kondisi sehat. Demikian juga RA Kartini hingga pagi harinya dr. van Resveteyn kembali ke Pati dan berjanji akan kembali tanggal 17 September 1904. Saat dokter itu datang lagi ke Rembang, kondisi Kartini cukup baik dan bahkan mereka merayakannya.

Namun setelah dr. van Revesteyn kembali, beberapa saat kemudian RA Kartini merasakan kesakitan yang luar biasa dan bahkan ajal menjemputnya dengan sangat cepat dalam pelukan suaminya. Ia kemudian dimakamkan di makam keluarga Djoyo Adhiningrat.

65 Makam Keluarga

Saat ini dihalaman pintu masuk sebelah kanan kompleks pasarean ini terdapat patung R.A Kartini yang menjadi simbol tersendiri dari kompleks pesarean.

Menurut catatan yang tertulis di prasasti pasarean, RA. Kartini Djojo Adhiningrat mulai ditetapkan sebagai salah satu tokoh nasional sejak 2 Mei 1964 oleh Presiden RI ke-1 Soekarno.

Pada 21 April 1979, tepat 100 tahun hari lahir Ibu R.A. Kartini, pemugaran makan ini juga pernah dilakukan dan diresmikan oleh ibu Tien Soeharto, istri presiden RI ke-2 Soeharto.

Di komplek makam ini secara keseluruhan terdapat 65 makam keluarga. Sebanyak 44 makam terletak di bangunan sebelah kanan bertuliskan ‘Makam Ageng’ dan 21 makam terletak dibangunan sebelah kiri bertuliskan ‘Makam Alit’.

Makam RA Kartini berada ditengah Makam Ageng yang dikelilingi teralis besi bersama RA Soekarmilah Joyo Adhiningrat, istri pertama Adhiningrat yang meninggal 13 November 1902 dan makam RA Srioerip salah satu putrinya. Sedangkan makam KRM Adipati Singgih Joyo Adhiningrat berada di sebelah makam RA Kartini. Makam ini juga dikelilingi teralis besi setinggi 170 cm.

Sedangkan makam Soesalit Djojo Adhiningrat berada di sebelah kanan makam RA Kartini berjejer dengan makam putra tunggalnya, RM Boedi Soesalit.

Menaburkan mawar peradaban

Kartini memang telah tiada. Ia telah dipanggil kepangkuan Ilahi setelah seluruh tenaga, pikiran dan cintanya di dharma baktikan hanya untuk bangsa dan negaranya. Karena cintanya pula ia seringkali merasa gelisah melihat ketidak adilan yang terjadi disekelilingnya. Bahkan ia mengaku setiap hari melihat neraka itu dari jarak dekat, karena ia berada didalamnya. Dengan jujur Kartini juga mengakui menjadi bagian dari orang-orang yang hendak ditolongnya.Ia sering kali kalah. Namun dalam setiap kali ia jatuh, ia kembali bangjkit. Ia terus berjuang dan tak pernah menyerah seperti tekadnya : walau pun langit runtuh akan saya pertahankan dengan bahu saya.

Dalam ketidakberdayaannya sebagai perempuan bangsawan, Kartini telah banyak berbuat. Ia telah merintis dan mumbuka jalan menuju pintu gerbang peradaban Bangsa Bumiputera. Sebagai perintis Kartini dengan sadar telah memilih jalannya sendiri. Ia tahu jalan yang akan dilalui adalah jalan yang penuh onak duri, terjal dan berbatu. Namun ia bahagia jalan itu telah dibuka.

Kartini memang tidak menikmati buah tanaman yang ia tanam dan rawat dengan cucuran keringat dan bahkan air mata. Namun ia telah mempersiapkan tanah dan menggemburkannya, hingga siapapun bisa menanam buah-buah peradaban bangsa ini.

Tetesan air mata duka yang membasahi bantal dan gulingnya setiap malam, bagaikan air yang mengairi sawah ke tanah – tanah kering hingga bunga mawar peradaban bisa tumbuh, bersemi, mekar dan menebarkan aroma wangi. (“)