Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Saat saya usia SD-SMP, terutama di tlatah/wilayah kasultanan Ngayojakarta Hadiningrat, sebutan untuk uang satu rupiah ialah sak gelo (bacalah gelo seperti Anda mengucapkan “Gadis itu pintar memainkan cello, sebuah alat musik;” atau Anda mengumpat mengatakan seseorang “bego.”
Untuk menyebutkan setengah rupiah, digunakan ungkapan setengah gelo; namun uniknya untuk menyebutkan seprapat gelo (seperempat rupiah), dipergunakanlah sebutan setali. Satuan setali terdiri dari uang logam dua sen dan setengah sen (mata uang ini berlobang di tengahnya); nah … rupanya dari sanalah lalu dikenal ungkapan setali tiga uang karena memang terdiri dari tiga uang kricik.
Sebagai ungkapan untuk/dalam relasi sosial kemasyarakatan, setali tiga uang kemudian berkembang menjadi semacam peribahasa, yang berarti sama saja, mirip, atau kalau ungkapan zaman sekarang sebelas duabelas, tipis bedanya.
Beler, Clemer, dan Cemer
Baru-baru ini seorang mantan anggota dewan perwakilan rakyat yang baru saja keluar dari masa “bertapanya,” mengawali dunia barunya dengan cara “mau jujur tentang liku-liku permasalahan korupsi.” Semoga ia tidak tertelikung lagi seperti dulu dialaminya; dan semoga ia lancar serta mampu mengorek siapa yang sebenarnya beler, clemer, dan cemer dalam konteks korupsi di Indonesia.
Baca Juga: Setali Tiga Uang: Gidhuh, Kisruh, lan Ribut (Part 1)
Beler, clemer lan cemer, bacalah seperti Anda mengucapkan seger atau bener atau “Aku makan lemper dua;” dan tiga kata itu memiliki makna mirip-mirip terkait korupsi, bahkan boleh dibilang termasuk akar atau tempat belajar pertama untuk korupsi.
Beler, ungkapan khas yang awalnya untuk melukiskan perilaku anak-anak yang tansah klithihan, glidhig banget, anak yang tidak pernah bisa diam, usil, suka pergi dan serba jahil.
Di samping itu beler juga untuk melukiskan orang yang mlincur lan emoh nyaur utang, yakni orang yang tidak pernah mau bayar hutangnya (karena itu harus ditagih); namun untuk hewan piaraan, ayam terutama, beler berarti tansah saba ing omah lan ngribedi, ayam yang tidak mau keluar dari rumah (cari makan), karena hanya berada di dalam rumah terus, pun selalu mengganggu.
Beler dalam arti semacam inilah bila tidak disadari apalagi tidak dikelola dengan baik akan mendorong seseorang menjadi clemer, dan mulai dari sinilah bibit-bibit korupsi itu tersemai. Mengapa? Orang disebut clemer karena ia seneng culika, seneng colong jupuk, yakni orang yang suka berbohong serta suka ambil barang/harta orang atau pihak lain.
Bukankah clemer seperti itu identik dengan tindak korupsi yang selama ini menggelisahkan dan sebenarnya sangat mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara kita? Orang atau pun lembaga/instansi yang seneng culika, suka berbohong berarti ora bares, dan itu sudah menggambarkan betapa perilaku koruptif sedang merajalela.
Kondisi menyedihkan dan memrihatinkan seperti inilah disebut cemer, yakuwi jenes, nistha banget, jemer; ialah kondisi yang nista, jorok, situasi yang sangat tidak terhormat bagi siapa pun: bagi pelakunya ya cemer, bagi lembaga/instansinya juga tercemar; apalagi bagi rakyat dan masyarakat yang sejatinya sangat mengharapkan kehidupan semua pihak yang bermartabat.
Marilah kita kembangkan pola asuh yang menjauhkan anak cucu kita dan masyarakat pada umumnya dari hal-hal yang dapat menyuburkan sikap beler, clemer dan apalagi cemer.
Mari kita dukung berbagai upaya memberantas tindak korupsi, dan semoga orang yang berkehendak baik mau “membongkar” semua liku-liku “petinggi” berbuat koruptif diberi semangat baja untuk melakukannya.