blank
Penandatanganan komitmen untuk penanganan stunting di Wonosobo. Foto : SB/Muharno Zarka

WONOSOBO (SUARABARU.ID)-Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaa Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBPPPA) Wonosobo Dyah Retno Sulistyowati nengatakan selain kemiskinan, stunting juga menjadi permasalahan yang penyelesaianya difokuskan dalam program pembangunan Pemkab Wonosobo.

“Di mana angka stunting di daerah berjuluk Asri ini dilihat dari data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) dan Aplikasi elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM) masih di atas 20 persen,” ujar perempuan yang juga istri Bupati Afif Nurhidayat itu.

Sementara, lanjut dia, menurut Badan Kesehatan Dunia, World Health Organization (WHO), masalah kesehatan masyarakat dapat dianggap buruk jika prevalensi stunting lebih dari 20 persen.

“Artinya, jika secara nasional mencapai angka tersebut maka masalah stunting di Indonesia tergolong kronis,” ujarnya, pada acara “Rembuk stunting Kabupaten Wonosobo Tahun 2022”, di Pendopo Bupati setempat.

Dikatakan, menurut WHO, manakala satu negara terdapat masalah kesehatan dapat dianggap buruk jika prevalensi stuntingnya diatas 20 persen. Di Wonosobo, data SSGI maupun e-PPGBM angka stuntingnya masih di atas 20 persen.

“Stunting sendiri adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah 5 tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya,” tegas dia.

Kekurangan gizi, sambungnya, terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir. Tetapi kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun.

Sebab Stunting

blank
Kepala DPPKBPPPA Wonosobo Dyah Retno Sulistyowati dalam acara Rembuk Stunting. Foto : SB/Muharno Zarka

“Selain itu, stunting merupakan kondisi di mana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO-MGRS,” paparnya.

Balita stunting, lanjutnya, termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor. Seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi dan kurangnya asupan gizi pada bayi.

“Dan kondisi ini berefek jangka panjang hingga anak dewasa dan lanjut usia. Sehingga permasalahan ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah, begitu juga di Pemkab Wonosobo,” tutur perempuan berjilbab itu.

Menurut Dyah, sedikitnya ada 3 faktor penyebab stunting, di antaranya  pengasuhan yang kurang baik, yaitu kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan maupun melahirkan.

“Sejumlah 60 persen anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan ASI eksklusif. Juga terbatasnya layanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan,” tandas Dyah.

Kurangnya akses terhadap air bersih dan sanitasi, katanya, juga menjadi penyebab, 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air besar di ruang terbuka. 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses terhadap air bersih.

“Penyebab lainnya adalah kurangnya akses rumah tangga/keluarga terhadap makanan bergizi. Makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal. Saya mencontohkan komoditas makanan di Jakarta 94 persen lebih mahal dibandingkan dengan di New Delhi, India,” pungkas dia.

Muharno Zarka